Dalil Pertama:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ﭬ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: «لَا تَسُبُّوا الرِّيحَ؛ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مَا تَكْرَهُونَ فَقُولُوا:
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab radhi Allahu anh, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Janganlah kalian mencaci maki angin. apabila kalian melihat suatu hal yang tidak menyenangkan, maka berdoalah :
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيحِ، وَخَيْرِ مَا فِيهَا، وَخَيْرِ مَا أُمِرَتْ بِهِ، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيحِ، وَشَرِّ مَا فِيهَا، وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ»، صَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ.
“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadaMu kebaikan angin ini, dan kebaikan apa yang ada di dalamnya, dan kebaikan yang dia diperintahkan dengannya, dan kami berlindung kepadaMu dari keburukan angin ini, dan keburukan yang ada didalamnya, dan keburukan yang dia diperintahkan dengannya. ” (HR. Turmudzi, dan hadits ini ia nyatakan shoheh).
● Mencela angin penjabarannya sesuai dengan penjabaran dalam mencela masa. Penulis mendatangkannya dalam bab tersendiri karena banyak sekali terucapkan dalam lisan manusia. Di sana telah terdapat dalil-dalil secara umum yang melarang untuk suka melaknat dan mencela. Rasulullah bersabda:
«لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ»
“Bukanlah seorang mu’min yang suka menuduh dengan tuduhan yang keji, yang suka melaknat, yang suka berbuat fahisy dan mengucapkan kata-kata kotor”.
«لَا يَكُونُ اللَّعَّانُونَ شُفَعَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ».
“Orang-orang yang suka melaknat tidak akan menjadi pemberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat”.
● Dalam mencela orang-orang muslim, Rasulullah bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran”.
● Dalam mencela orang-orang yang telah meninggal, Rasulullah bersabda:
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ؛ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا
“Jangan pernah kalian mencela orang yang telah meninggal, sebab mereka telah sampai kepada tempat kembali mereka.
● Rasulullah bersabda terhadap orang yang suka mencela binatang:
لَا تُصَاحِبُنَا نَاقَةٌ عَلَيْهَا لَعْنَةٌ
“Janganlah ikut bersama kami pemilik onta yang suka melaknat ontanya”.
● Rasulullah bersabda tentang sakit panas:
لَا تَسُبُّوا الْحُمَّى
“Janganlah kalian mencela sakit panas”.
Al-Masaail (Perkara-Perkara)
1. Larangan mencaci maki angin. (Larangan bersifat haram, karena mencelanya sama saja mencela yang menciptakannya dan yang mengutusnya).
2. Petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam untuk mengucapkan ucapan yang bermanfaat apabila manusia melihat sesuatu yang tidak menyenangkannya. (Seperti ya berkata: “ya Allah saya memita kepadamu…, tentunya diiringi pula dengan mengerjakan sebab-sebab hissiyah (secara fisik), seperti mencari tembok untuk berlindung dari terpaan angin yang kencang).
3. Pemberitahuan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bahwa angin itu hanyalah diperintah Allah.
4. Angin yang bertiup itu kadang diperintah untuk suatu kebaikan, dan kadang diperintah untuk suatu keburukan.
(Kesimpulannya bahwa wajib bagi seseorang untuk tidak menentang takdir dan ketetapan Allah serta jangan pula ia mencelannya. Demikian juga, hendaknya ia pasrah terhadap perkara-perkara kauni yang telah Allah tetapkan, sebagaimana ia harus pasrah dengan perkara-perkara syariat yang telah Allah tetapkan. Karena sesungguhnya makhluk-makhluk ini tidak memiliki kewenangan untuk mengerjakan sesuatu melainkan dengan perintah Allah ta’ala.
[59] Bab Larangan Berprasangka Buruk Terhadap Allah
Dalil Pertama
يَظُنُّونَ بِاللّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَل لَّنَا مِنَ الأَمْرِ مِن شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ
Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah…(QS. Ali-Imran : 154).
● “Mereka menyangka yang tidak benar kepada Allah” : (Mereka adalah kaum munafik), menyangka dengan persangkaan jahiliyah, dimana orang yang berprasangka ini tidak mengetahui keagungan Allah, maka itu adalah persangkaan yang batil yang dibangun di atas kejahilan. Berprasangka kepada Allah ada dua macam:
1. Berprasangka kepada Allah dengan kebaikan, dan ini memiliki dua kaitan:
a. Berkaitan dengan apa yang Allah perbuat di alam ini. Hal ini wajib bagi anda untuk berprasangka baik kepada Allah.
b. Berkaitan dengan apa yang Allah perbuat kepada anda. Wajib bagi anda untuk berprasangka baik kepada Allah dengan sebaik-baik prasangka, dengan syarat ada pengantar yang membawamu untuk berprasangka baik yaitu iklas dan meneladani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
2. Berprasangka buruk kepada Allah, seperti berprasangka bahwa dalam perbuatan Allah ada ketidak becusan atau kezaliman atau yang semisalnya. Hal ini merupakan keharaman yang paling besar dan dosa yang paling buruk. Beginialah yang telah disangkakan orang-orang munafik dan selain mereka terhadap Allah, persangkaan yang tidak benar.
Dalil Kedua
الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ
orang-orang yang berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk (QS. Al-Fath : 6).
● Mereka adalah orang-orang munafik dan kaum musyrikin, bahwa keburukan meliputi mereka dari segala sisi
قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ فِي الآيَةِ الْأُولَى: «فُسِّرَ هَذَا الظَّنُّ بَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ لَا يَنْصُـرُ رَسُولَهُ، وَأَنَّ أَمْرَهُ سَيَضْمَحِلُّ، وَفُسِّـرَ بِأَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ بِقَدَرِ اللهِ وَحِكْمَتِهِ. فَفُسِّـرَ بِإِنْكَارِ الْحِكْمَةِ وَإِنْكَارِ الْقَدَرِ وَإِنْكَارِ أَنْ يُتِمَّ أَمْرَ
رَسُولِهِ، وَأَنْ يُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ، وَهَذَا هُوَ ظَنُّ السَّوْءِ، الَّذِي ظَنَّ الْـمُنَافِقُونَ وَالْـمُشْرِكُونَ فِي سُورَةِ الْفَتْحِ. وَإِنَّمَا كَانَ هَذَا ظَنَّ السَّوْءِ؛ لِأَنَّهُ ظَنُّ غَيْرِ مَا يَلِيقُ بِهِ سُبْحَانَهُ، وَمَا يَلِيقُ بِحِكْمَتِهِ وَحَمْدِهِ وَوَعْدِهِ الصَّادِقِ. فَمَنْ ظَنَّ أَنَّهُ يُدِيلُ الْبَاطِلَ عَلَى الْـحَقِّ إِدَالَةً مُسْتَقِرَّةً يَضْمَحِلُّ مَعَهَا الْـحَقُّ، أَوْ أَنْكَرَ أَنْ يَكُونَ مَا جَرَى: بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ، أَوْ أَنْكَرَ أَنْ يَكُونَ قَدَّرَهُ لِحِكْمَةٍ بَالِغَةٍ يَسْتَحِقُّ عَلَيْهَا الْـحَمْدَ، بَلْ زَعَمَ أَنَّ ذَلِكَ لِمَشِيئَةٍ مُجَرَّدَةٍ، فَذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا، فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ. وَأَكْثَرُ النَّاسِ يَظُنُّونَ بِاللهِ ظَنَّ السَّوْءِ فِيمَا يَخْتَصُّ بِهِمْ، وَفِيمَا يَفْعَلُهُ بِغَيْرِهِمْ، وَلَا يَسْلَمُ مِنْ ذَلِكَ إِلَّا مَنْ عَرَفَ اللهَ وَأَسْمَاءَهُ وَصِفَاتِهِ، وَمُوجِبَ حِكْمَتِهِ وَحَمْدِهِ. فَلْيَعْتَنِ اللَّبِيبُ النَّاصِحُ لِنَفْسِهِ بِهَذَا، وَلْيَتُبْ إِلَى اللهِ، وَيَسْتَغْفِرْهُ مِنْ ظَنِّهِ بِرَبِّهِ ظَنَّ السَّوْءِ. وَلَوْ فَتَّشْتَ مَنْ فَتَّشْتَ؛ لَرَأَيْتَ عِنْدَهُ تَعَنُّتًا عَلَى الْقَدَرِ وَمَلَامَةً لَهُ، وَأَنَّهُ كَانَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ كَذَا وَكَذَا، فَمُسْتَقِلٌّ وَمُسْتَكْثِرٌ، وَفَتِّشْ نَفْسَكَ هَلْ أَنْتَ سَالِـمٌ؟ (فَإِنْ تَنْجُ مِنْهَا تَنْجُ مِنْ ذِي عَظِيمَةٍ وَإِلَّا فَإِنِّي لَا إِخـَالُـكَ نَاجِيًا)».
Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah dalam menafsirkan ayat yang pertama, beliau mengatakan : “Prasangka di sini maksudnya adalah bahwa Allah subhanahu wata’ala tidak akan memberikan pertolongannya (kemenangan) kepada Rasul-Nya, dan bahwa perkara beliau (agama yang belaiau bawa) akan lenyap.”
Dan ditafsirkan pula : “bahwa apa yang menimpanya bukanlah dengan takdir (ketetapan) dan hikmah (kebijaksanaan) Allah.” Jadi prasangka di sini ditafsirkan dengan mengingkari adanya hikmah dari Allah, mengingkari takdirNya, mengingkari bahwa Allah tidak akan menyempurnakan perkara yang dibawa Rasul-Nya dan tidak pula memenangkannya atas agama semuanya. Inilah prasangka buruk yang disangkakan oleh orang-orang munafik dan orang-orang musyrik dalam surat Al-Fath. Perbuatan ini disebut dengan prasangka buruk, karena prasangka seperti ini tidak layak diperuntukan kepada Allah, juga tidak layak dengan kebijaksanaan-Nya, sifat terpuji-Nya, dan janji-Nya yang pasti benar.
Oleh karena itu, barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah subhanahu wata’ala akan memenangkan kebatilan atas kebenaran, disertai dengan lenyapnya kebenaran selamanya, atau berprasangka bahwa apa yang terjadi bukan karena Qadha dan takdir Allah, atau mengingkari adanya suatu hikmah yang besar sekali dalam takdir-Nya, yang dengan hikmah-Nya tersebut Allah berhak untuk dipuji, bahkan mengira bahwa yang terjadi hanya sekedar kehendakNya saja tanpa ada hikmahnya, maka inilah prasangka orang-orang kafir. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir yang berada di neraka.
Dan kebanyakan manusia mereka prasangka buruk kepada Allah, baik itu berkenaan dengan apa yang Allah perbuat terhadap mereka sendiri, ataupun yang berkenaan dengan apa yang Allah perbuat terhadap orang lain, dimana tidak ada orang yang selamat dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang benar-benar mengenal Allah, nama-namaNya dan sifat-sifatNya, juga mengenal konsekuensi dari sifat kebijaksanaannNya dan sifat terpujiNya.
Maka orang yang berakal dan yang cinta pada dirinya sendiri, hendaklah memperhatikan masalah ini, dan bertaubatlah kepada Allah, serta memohon maghfirahNya atas prasangka buruk yang dia sangkakan terhadap Allah.
Apabila anda selidiki, siapapun orangnya pasti akan anda dapati pada dirinya sikap
menyangkal dan mencemooh takdir Allah, dengan mengatakan hal tersebut semestinya begini dan begitu, ada yang sedikit dan ada juga yang banyak. Dan silahkan periksalah diri anda sendiri, apakah anda bebas dari sikap tersebut ? “Jika anda selamat (selamat) dari sikap tersebut, maka anda selamat dari malapetaka yang besar, jika tidak, sungguh aku kira anda tidak akan selamat.”
● Perkataan ini telah disebutkan oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma’ad sesudah pembahasan perang Uhud di bawah pembahasan Al-Hikam waa Al-Ghaayat Al-Mahmudah (hikmah-hikmah dan tujuan-tujuan yang terpuji) yang ada di dalam perang Uhud. Kesimpulan yang beliau sampaikan dalam prasangka yang buruk adalah:
1. Berprasangka bahwa Allah ta’ala akan memenangkan kebatilan atas kebenaran dengan kemenangan yang terus berlanjut disertai lenyapnya kebenaran selamanya.
2. Mengingkari bahwa apa yang terjadi tidak ditakdirkan dan ditetapkan oleh Allah. Bagaimana mungkin sesuatu yang terjadi di kerajaan-Nya tidak sesuai kehendak-Nya?.
3. Menginkari bahwa takdir Allah ta’ala karena suatu hikmah yang sangat agung, yang Dia pantas untuk dipuji karenanya.
● Kesimpulan yang beliau sebutkan untuk mengobati penyakit berprasangka buruk kepada Allah:
1. Mengetahui nama-nama dan sifat-sifat Allah dengan pengetahun yang benar, bukan pengetahun yang dirubah dan dita’wil.
2. Seorang yang berakal harus perhatian dengan ini agar berprasangka kepada Allah dengan persangkaan yang benar, bukan persangkaan yang buruk dan persangkaan jahiliyah.
3. Kembali kepada Allah dengan bertaubat dari maksiat menuju kepada ketaatan dan istighfar.
4. Hendaknya anda berprasangka buruk kepada jiwa anda, sebab manusia tempatnya kekurangan dan keburukan.
Al-Masaail (Perkara-Perkara)
1. Penjelasan ayat dalam surat Ali-Imraan. (Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah). Mereka disini adalah orang-orang munafik.
2. Penjelasan ayat dalam surat Al-Fath. (orang-orang yang berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk…). Orang-orang yang dimaksud di sini adalah kaum munafik.
3. Pengabaran bahwa hal itu memiliki banyak macam. (Dan batasannya adalah berprasangka kepada Allah dengan apa yang tidak pantas bagi-Nya).
4. Penjelasan bahwa tidak ada yang bisa selamat dari prasangka buruk ini kecuali orang yang mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah, serta mengenal dirinya sendiri. (Maka periksalah diri anda darinya. Karena pada hakekatnya manusia adalah tempatnya kekurangan dan keburukan. Adapun Allah ta’ala maka Dia adalah tempatnya kesempurnaan yang mutlak, yang tidak ditimpa kekurangan dari sisi mana pun juga.
[60] Bab Bab Tentang Orang yang Mengingkari Takdir
(Merupakan kufur yang besar)
● Al-Qadar (takdir) : Merupakan rahasia Allah pada makhluk-makhluknya, dimana kita tidak akan mengetahuinya melainkan setelah terjadi. Takdir ini berkaitan dengan tauhid rububiyah secara khusus walaupun kadang berkaitan pula dengan tauhid asma wa shifat. Manusia dalam masalah takdir ada tiga golongan:
1. Kelompok Jabariyah : Mereka menetapkan takdir, namun terlalu berlebihan sampai-sampai mereka mencabut ikhtiyar (pilihan) dan kemampuan seorang hamba. Mereka mengatakan : “tidak ada bagi seorang hamba pilihan dan tidak pula punya kemampuan”.
2. Kelompok Qadariyah Almu’tazilah : Mereka menetapkan pilihan bagi seorang hamba dan kemampuan dalam beramal. Akan tetapi mereka terlalu berlebihan dalam menetapkannya sampai-sampai mereka meniadakan kehendak dan penciptaan Allah pada amalan-amalan para hamba.
3. Kelompok yang ketiga, kelompok Ahlu Sunnah Waljama’ah : Mereka menggabungkan antara dalil-dalil dan mereka menempuh jalan sebaik-baik agama. Mereka beriman dengan takdir Allah dan ketetapan Allah ta’ala juga menetapkan bahwa seorang hamba memiliki kehendak, akan tetapi kehendak ini tidak bisa terlepas dari kehendak Allah ta’ala.
Beriman kepada takdir dan ketetapan Allah ta’ala memilki faedah-faedah yang sangat agung, di antaranya adalah:
1. Bahwa ini merupakan bagian keimanan terhadap rububiyah Allah ta’ala yang paling sempurna.
2. Bahwa hal ini akan mengantarkan kepada benarnya penyandaran kepada Allah.
3. Akan mengantarkan ketenangan pada hati. Apabila anda mengetahui bahwa apa yang menimpamu tidak akan pernah meleset darimu, dan apa yang tidak menimpamu tidak akan pernah mengenaimu maka kamu akan tenang terhadap apa yang menimpamu. Tentunya setelah anda menempuh langkah-langkah atau sebab-sebab yang bermanfaat.
4. Akan mencegah seorang hamba untuk ujub dengan amalannya apabila ia mengamalkan amalan yang patut untuk diapresiasi, sebab itu semua karunia dari Allah ta’ala.
5. Tidak akan bersedih atas apa yang menimpanya. Sebab hal itu berasal dari penciptanya yang Maha Kuasa, dimana perbuatan-Nya selalu didasari dengan rahmat dan hikmah.
6. Bahwa tugas manusia adalah mengerjakan sebab-sebab. Sebab ia beriman dengan hikmah-hikmah Allah, bahwa Dia tidak mentakdirkan sesuatu melainkan disana ada sebab-sebabnya.
Dalil Pertama
وَقَالَ ابنُ عُمرَ: وَالَّذِي نَفْسُ ابْنِ عُمَرَ بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ لَأَحَدِهِم مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا، ثُمَّ أنْفَقَهُ فِي سَبيلِ اللهِ؛ مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْهُ، حتَّى يُؤمِنَ بِالقَدَرِ، ثمَّ استَدلَّ بِقَوْلِ النَّبيِّ ﷺ: «الْإِيمَانُ: أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَومِ الآخِرِ، وَتُؤمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Ibnu Umar radhi Allahu’anhu berkata :“Demi jiwa Ibnu Umar yang berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerimanya, sampai ia beriman kepada takdir”, Kemudian beliau berdalil dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam : “Iman yaitu engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik dan takdir buruk.” (HR. Muslim).
Iman : ucapan dengan lisan, meyakini dengan hati, beramal dengan anggota badan, bertambah dengan ketaataan dan berkurang dengan maksiat. Iman ini memiliki enam rukun:
● Kepada malaikat-malaikat-Nya
Malaikat adalah makhluk alam ghaib yang Allah ciptakan dari cahaya. Mereka selalu taat dan tidak pernah bermaksiat kepada Allah. Mereka memiliki arwah sebagaimana firman Allah:
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar.”
memiliki jasad, sebagaimana firman Allah:
جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلاً أُولِي أَجْنِحَةٍ مَّثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ
Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Juga memiliki akal dan hati sebagaimana firman Allah:
حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَن قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ
“Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata: “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?”
Kita beriman dengan adanya mereka, dan beriman dengan semua nama mereka yang Allah beritakan kepada kita semua, (seperti Jibril, Mikail dan Israfil). Juga beriman dengan sifat-sifat mereka sebagaimana yang Allah firmankan:
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.”
Demikian pula, kita beriman dengan amalan-amalan mereka, (seperti malaikat pemikul ‘arsy). Serta beriman terhadap semua kabar-kabar tentang mereka, baik itu secara global maupun secara tafsil (rinci).
● Kepada kitab-kitab-Nya
Wajib bagi kita untuk beriman bahwa itu adalah kalam Allah secara hakikat dan bukan majas, sebagai kitab yang diturunkan bukan sebagai makhluk, dan bahwa Allah menurunkan kitab bersama setiap Rasul. Kita beriman dengannya dan beriman dengan semua nama kitab-kitab tersebut, kabar-kabarnya dan semua hukum-hukumnya, secara global maupun secara rinci selama hukum-hukumnya belum dihapus. Begitu pula, kita beriman
bahwa Al-Qur’an adalah sebagai penghapus semua kitab-kitab terdahulu; seperti Taurat, Injil, Zabur, Suhuf Ibrahim dan Suhuf Musa.
● Kepada Rasul-rasul-Nya
Wajib bagi kita untuk mengimani bahwa mereka hanyalah manusia yang tidak memiliki kekhususan rububiyah sedikit pun dan mereka adalah hamba yang tidak boleh diibadahi. Dan bahwa Allah telah mengutus dan menurunkan wahyu kepada mereka serta membantu mereka dengan mukjizat-mukjizat.
Wajib pula bagi kita untuk mengimani bahwa mereka telah menunaikan amanah, menasehati umat, menyampaikan risalah dan berjihad dengan sebenar-benarnya jihad. Kita beriman kepada mereka, dan dengan semua apa yang Allah ajarkan kepada kita dari nama-nama mereka, sifat-sifat mereka dan kabar-kabar tentang mereka, secara global maupun secara tafsil (rinci). Nabi pertama adalah Adam ‘alaihi sallam, Rasul pertama adalah Nuh ‘alaihi sallam dan penutup mereka adalah Muhammad salallahu ‘alaihi wasallam.
Kita pun wajib mengimani bahwa semua syariat terdahulu telah dihapus dengan syariat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Ulul ‘azmi ada lima sebagaimana disebutkan dalam surat As-Syuro dan Al-Ahzab: (Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, Nuh ‘alaihi sallam, Ibrahim ‘alaihi sallam, Musa ‘alaihi sallam dan Isa ‘alaihi sallam).
● Kepada hari akhir
Terkandung di dalamnya keimanan terhadap semua yang dikabarkan oleh Rasulullah shlallhu ‘alaihi wasallam setelah kematian. Seperti fitnah kubur, peniupan sangkakala, bangkitnya manusia dari kuburan mereka, timbangan amal, catatan amal, shirat, telaga, syafaat, surga, neraka, penglihatan orang-orang yang beriman terhadap Tuhan mereka pada hari kiamat dan di surga, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan perkara-perkara yang ghaib.
● Dan kamu beriman kepada takdir baik dan buruk
Di dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengulagi fi’il kata kerja “kamu beriman” dikarenakan berimana kepada takdir merupakan perkara yang sangat penting. Dan keimanan kita terhadap takdir memilki empat tingkatan yang diebutkan dalam syair:
عِلْمٌ، كِتابَةُ مَولَانَا، مَشِيْئَتُه وَخَلْقُهُ وَهُو إيْجَادٌ وَتَكْوِيْنُ
Ilmu, penulisan Tuhan kita, dan kehendak-Nya
dan penciptaan-Nya yaitu membuat dan mengadakan
Dan dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan : “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah subhanahu wata’ala adalah pena, kemudian Allah berfirman kepadanya : “tulislah !”, maka ditulislah apa yang terjadi sampai hari kiamat”.
Dalil Ketiga
وَفِي رِوَايَةٍ لِابْنِ وَهْبٍ: قَالَ رَسُولُ اللهُ ﷺ: «فَمَنْ لَمْ يُؤمِنْ بالقَدَرِ خَيرِهِ وشرِّهِ؛ أحْرَقَهُ اللهُ بالنَّارِ».
Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Maka barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir baik dan buruk, maka Allah pasti akan membakarnya dengan api neraka”.
Dalil Keempat
وَفِي «الْـمُسْنَدِ» وَ«السُّنَنِ» عَنِ ابْنِ الدَّيْلَمِيِّ؛ قَالَ: أتَيْتُ أُبيَّ بنَ كعْبٍ، فَقُلْتُ: فِي نَفْسـِي شَيْءٌ مِنَ القَدَرِ، فَحَدِّثْنِي بِشَيءٍ لَعَلَّ اللهُ يُذْهِبُهُ مِنْ قَلْبي، فَقَالَ: «لَوْ أنفَقْتَ مِثَلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْكَ؛ حَتَّى تُؤمِنَ بِالقَدَرِ، وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَمَا أَخْطَـأَكَ لَمْ يَكُـنْ لِيُصِيبَكَ، وَلوْ مِتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَكُنْتَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، قَالَ: فَأَتَيْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُودٍ، وَحُذَيفةَ بْنَ الْيَمَانِ، وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ؛ فَكُلُّهُمْ حَدَّثَنِي بِمِثْلِ ذَلِكَ عَنِ النَّبيِّ ﷺ»، حَدِيثٌ صَحِيحٌ، رَواهُ الحَاكِمُ فِي «صَحِيحِهِ».
Diriwayatkan dalam Musnad dan Sunan, dari Ibnu Dailami ia berkata : “Aku datang kepada Ubay bin Kaab, kemudian aku katakan kepadanya : “Ada sesuatu keraguan dalam hatiku tentang masalah takdir, maka sampaikanlah sesutu kepadaku, dengan harapan semoga Allah subhanahu wata’ala menghilangkan keraguan itu dari hatiku”, maka ia berkata : “Seandainya kamu menginfakkan emas sebesar gunung uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu, sebelum kamu beriman kepada takdir, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu, dan jika kamu mati tidak dalam keyakinan seperti ini, maka kamu akan menjadi penghuni neraka.
Kata Ibnu Dailami selanjutnya : “Lalu aku mendatangi Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah bin Al-Yaman dan Zaid bin Tsabit, semuanya mengucapkan kepadaku hadits yang sama dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam di atas.” (HR. Al Hakim dan dinyatakan shoheh).
● “Sampai kamu mengetahui” : Sungguh Allah telah mengisyaratkan perkara ini dalam firman-Nya:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ﴿٢٢﴾ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ﴿٢٣﴾
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Al-Hadiid 22-23).
● “Wahai anakku” : Di dalamnya ada anjuran untuk lembut terhadap anak ketika menasehati, dan hendaknya ketika mengajarkan kepada anak hukum-hukum disertai dengan dalil. Tujuannya adalah: [1] Untuk membiasakan anak mengikuti dalil. [2] Mendidiknya untuk mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
● “Dalam diriku ada sesuatu…” : Apa yang terdapat dalam hati imam Ad-Dailami menunjukan atas berbahayanya bermajelis dengan ahli bid’ah yang mereka membuat ragu dalam masalah takdir. Kemudian yang harus diperhatikan bahwa untuk menangkal syubhat maka harus dilawan dengan dalil, dan jangan dilawan dengan akal, sebab ini akan semakin menambah syubhat.
● القَلَمُ : Ada dua periwayatan, dengan di dhammah dan di fathah.
1. Di dhammah : Yang bermakna bahwa yang pertama kali Allah ciptakan adalah qalam (pena) ditinjau dari apa yang kita dapat saksikan saja dari para makhluk, seperti langit dan bumi. Maka dapat kita katakan bahwa kata pertama di sini adalah nisbi (relative). Imam ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
Manusia berbeda pendapat dalam qalam (pena) yang
Qadha (ketetapan) telah ditulis dari Ad-Dayyan (Maha Pemutus Perkara)
Apakah ia ada sebelum Arsy atau sesudahnya
Dua pendapat di dapatkan dari Abul ‘Ala Al-Hamzani
Yang benar bahwa “arsy sebelum, disebabkan
Sebelum penulisan sudah memiliki elemen-elemen
2. Dengan di fathah : Maka maknanya adalah bahwa Allah memerintahkan pena untuk menulis dari awal penciptaannya.
Al-Masaail (Perkara-Perkara)
1. Penjelasan kewajiban untuk beriman terhadap takdir.
2. Penjelasan bagaimana seharusnya kita beriman dengannnya. (Yaitu kita beriman dengan urutannya yang empat).
3. Terhapusnya semua amalan bagi yang tidak beriman dengannya. (Dia telah kafir dengan kekafiran yang besar).
4. Pengabaran bahwa seseorang tidak akan mendapatkan kelezatan iman sampai ia beriman dengannya.
5. Penyebutan yang pertama kali Allah ciptakan. (Tidak diragukan bahwa penciptaan qalam (pena) setelah penciptaan Arsy’. Pena merupakan ciptaan Allah yang pertama ditinjau dari makhluk yang dapat kita saksikan, yaitu ada sebelum penciptaan langit dan bumi. Sehingga kata ia pertama merupakan perkara nisbi (relative).
6. Bahwa ia diperintah untuk menulis takdir pada saat itu sampai hari kiamat kelak. (Di dalamnya ada arahan seruan Allah kepada benda mati, bahwa mereka dapat memahami
perintah Allah. Di sini Allah mengarahkan seruan kepada pena, dan pena tersebut memahami dan melaksankan perintah.
7. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berlepas dari orang yang tidak beriman kepada takdir. (Seorang yang kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari agama Islam).
8. Tradisi para ulama salaf dalam menghilangkan keraguan, yaitu dengan bertanya kepada ulama. (Bolehnya bertanya kepada lebih dari satu orang ulama untuk memantapkan ilmu bukan untuk mencari-cari keringanan).
9. Bahwa para ulama menjawab pertanyaan dengan yang dapat menghilangkan syubhat, karena mereka hanya menyandarkan perkataan mereka kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (Dengan jalan seperti ini maka syubhat akan hilang secara total dari seorang muslim. Dan tidak mengapa untuk mendatangkan dalil dari akal atau hissiyah (perasa) dengan tujuan untuk memuaskan lawan dan membuatnya tenang ketika menerimanya. Dan di sana pula ada dalil yang keempat yaitu dalil menggunakan fitrah.