[54] Bab Tidak Boleh Mengucapkan ‘Abbdi wa ‘Ammati (Hamba Lelakiku dan Hamba Wanitaku)

● “Janganlah salah seorang di antara kalian berkata : “Hidangkanlah makanan untuk rabmu (gustimu), dan ambilkan air wudlu untuk gustimu” : sebab hal ini terdapat pelanggaran terhadap tauhid rububiyah.

● “Dan hendaknya ia mengatakan : “tuanku dan majikanku” : Ini adalah seruan kepada sang budak, akan tetapi seruan ini bukan seruan yang wajib tetapi sebagai arahan yang menunjukan mubah. Sebab para ulama mengatakan: “Apabila ada perintah datang setalah larangan terhadap sesuatu maka perintah ini menunjukan mubah (boleh). Seperti firman Allah ta’ala:

وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ

Apabila kalian telah selesai mengerjakan haji maka berburulah.

Perintah berburu disini hukumnya mubah.

● “Dan janganlah salah seorang di antara kalian berkata” : Larangan bisa jadi bermakna haram atau bisa juga bermakna makruh. Agar kemudian tidak timbul persepsi bahwa itu adalah untuk penghambaan, sebab penghambaan itu tidak boleh diperuntukan melainkan kepada Allah. Kata “abdi” adalah untuk hamba sahaya laki-laki dan “ammati” untuk hamba sahaya wanita.

●  “Dan hendaknya ia berkata : “bujangku, gadisku, dan anakku” : ini adalah seruan kepada sang tuan. Di dalamnya terdapat faedah bahwa apabila syariat menutup pintu keharaman maka syariat akan membukan pintu pembolehan. Di dalamnya pula ada peringatan agar merealisasikan tauhid walaupun dalam ucapan-ucapan.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Larangan mengatakan “Abdi atau Amati”, yang berarti hambaku.

2. Larangan bagi seorang hamba sahaya untuk memanggil majikannya dengan ucapan : “Rabbi” yang berarti : “gustiku”, dan larangan berkata kepadanya “hidangkanlah makanan untuk rabmu (gustimu).

3. Dianjurkan kepada majikan atau tuan untuk memanggil pelayan atau hamba sahayanya dengan ucapan “fataya” (bujangku), fatati (gadisku), dan ghulami (anakku).

4. Dan dianjurkan kepada pelayan atau hamba sahaya untuk memanggil tuan atau majikannya dengan panggilan “sayyidi” (tuanku) atau “maulaya” (majikanku).

5. Tujuan dari anjuran di atas untuk mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya, sampai dalam hal ucapan.

[55] Bab Tidak Boleh Menolak Permintaan Orang yang Menyebut Nama Allah (Haram atau Makruh)

● “Maka lindungilah” : Kecuali dia meminta perlindungan untuk tidak melakukan perkara yang wajib dia kerjakan atau tolong menolong di atas dosa dan permusuhan.

● Apakah memenuhi undangan merupakan hak Allah atau hak anak adam? Ini adalah hak anak adam. Sebab itu apabila anda meminta kepada yang mengundangmu bahwa anda tidak dapat memenuhi undangannya dan ia menerimanya maka tidak ada dosa bagimu. Namun perkara ini wajib dengan perintah dari Allah ta’ala. Tetapi apabila yang mengundangmu ini menerima permintaan maafmu karena malu terhadapmu padahal sebenarnya ia tidak puas dengan permintaanmu tersebut maka sebaiknya anda memenuhi undangannya.

● “Maka penuhilah undangannya” : Maksud dari undangan adalah untuk memuliakan bukan untuk panggilan. Juhur ulama berpendapat bahwa memenuhi undangan hukumnya mustahab (sunah) melainkan undangan pernikahan. Di mana mereka mengatakan bahwa undangan pernikahan adalah wajib, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Orang yang mengundang ini bukan orang yang wajib untuk di hajr (diboikot) atau di sunahkan untuk di boikot.

2. Tidak ada kemungkaran di tempat berlangsungnya acara pernikahan. Apabila di sana ada kemungkaran dan dia mampu untuk mengingkarinya maka menghadirinya adalah wajib, untuk memenuhi undangan dan untuk mengingkari kemungkaran.

3. Yang mengundang adalah orang muslim. Jadi apabila yang mengundang bukan orang muslim maka tidak wajib menghadirinya.

4. Mata pencahariannya bukan dari perkara yang haram.

5. Memenuhi undangan tersebut tidak menggugurkan kewajiban yang lain atau yang lebih wajib darinya.

6. Tidak menimbulkan mudhorot bagi orang yang diundang, seperti ia harus safar atau berpisah dari keluarganya yang membutuhkan bantuannya.

● Apakah kertas undangan yang dibagikan seperti undangan dengan lisan? Apabila ia tahu atau menurut persangkaan kuatnya bahwa undangan yang disampaikan kepadanya yang diinginkan adalah kehadirannya, maka hukum undangan dengan kertas ini sama dengan undangan lisan.

● “Maka balaslah kebaikan itu” : Dalam membalas kebaikan tersebut ada dua manfaat:

1. Untuk memotivasi dan memberi semangat orang yang berbuat kebaikan tersebut untuk terus berbuat baik.

2. Dengan membalasnya seseorang dapat menghilangkan rasa rendah dirinya akibat kebaikan yang telah diberikan kepadanya.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Keharusan melindungi yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah. (Barang siapa meminta perlindungan dengan nama Allah, maka wajib untuk melindunginya kecuali ia meminta perlindungan dari perkara wajib yang harus ia kerjakan atau keharaman yang harus ia jauhi.

2. Keharusan memberi yang meminta dengan nama Allah.

3. Keharusan untuk memenuhi undangan.

4. Anjuran untuk membalas orang yang berbuat. (Yaitu yang berbuat kebaikan kepada anda).

5. Bahwa doa adalah cara membalas yang sepadan bagi yang tidak mampu untuk membalas yang semisalnya. (Apalagi kalau orang yang berbuat kebaikan tersebut adalah orang yang semisal dirinya sesuai adat kebiasaan tidak dapat dibalas). 

6. Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam “sampai engkau merasa yakin bahwa engkau telah membalas kebaikannya”. (Jangan berdoa ala kadarnya saja, akan tetapi berdoa sampai anda mengetahui atau persangkaan kuat dari anda telah membalasnya).

[56] Bab Tidak Pantas Diminta dengan Wajah Allah Kecuali Surga

[57] Bab Tentang Ucapan Seandainya  (Di dalamnya ada penjabaran)

Dalil Pertama

Allah berfirman:

يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا

{Mereka berkata: “Seandainya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini…}. (QS. Ali-Imran : 154).

Dalil Kedua

Allah berfirman:

الَّذِينَ قَالُواْ لإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُواْ لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا

{Orang-orang yang mengatakan kepada saudaranya yang mereka tidak turut pergi berperang “seandainya  mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh …”}. (QS. Ali-Imran : 168).

Dalil Ketiga

[3] فِي الصَّحِيحِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ﭬ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: «احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَلَا تَعْجَـِزَن، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَكَذَا؛ وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ، وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ».

Diriwayatkan dalam hadits shoheh dari Abu Hurairah radhi Allahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :  “Bersungguh-sungguhlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah, dan jika sesuatu (keburukan) menimpa kamu, maka janganlah kamu mengatakan : “seandainya aku berbuat seperti ini, tentu tidak akan terjadi begini dan begitu’”, tetapi katakanlah : “Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang dikehendaki-Nya pasti Dia lakukan”, karena kata “seandainya” itu akan membuka pintu perbuatan setan.”

● {Mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini…} : Ini merupakan penentangan orang-orang munafik terhadap syariat, di mana mereka menyalahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau keluar untuk berperang tanpa persetujuan mereka.

● Demikian pula bisa dikatakan mereka menentang takdir yang telah Allah tetapkan. Yakni “kita ini tidak keluar untuk dibunuh”.

{Orang-orang yang mengatakan kepada saudaranya yang mereka tidak turut pergi berperang “seandainya  mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh …”} : Di dalamnya ada penentangan terhadap orang-orang yang beriman dan terhadap takdir Allah, juga terdapat di dalamnya sifat pengecut ketika berjihad.

● Barang siapa yang menentang takdir maka ia tidak ridha bahwa Allah itu sebagai Tuhannya dan dia pula  bukan termasuk orang  merealisasikan tauhid rububiyah.

● Di dalam hadits (dalil yang ketiga) terdapat di dalmnya:

1. Agar bersungguh-sungguh mencari apa yang dapat mendatangkan manfaat dan meninggalakan yang dapat mendatangkan mudhorot.

2. Agar senantiasa meminta pertolongan Allah ta’ala.

3. Untuk melanjutkan tekad yang telah bulat dan jangan sekali-kali bersikap lemah, ini adalah tiga urutan yang kendalinya berada ditanganmu.

4. Apabila yang terjadi ternyata tidak sesuai yang anda harapkan, maka perkaranya bukan pada diri anda, namun ini sudah merupakan takdir Allah, maka hendaklah engkau pasrahkan urusanmu kepada-Nya.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Penjelasan tentang dua ayat yang ada pada surat Ali-Imron. (Yang pertama penentangan terhadap syariat dan yang kedua penentangan terhadap takdir).

2. Larangan mengucapkan kata “andaikata” atau “seandainya” apabila sesuatu (keburukan) menimpamu.

3. Illah (alasan) masalah ini adalah karena kata tersebut (seandainya/andaikata) akan membuka pintu perbuatan syetan.

4. Petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam supaya mengucapkan ucapan-ucapan yang baik. Seperti,

قَدَّرَ اللهُ، وَمَا شَاءَ فَعَلَ

Allah telah mentakdirkan dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.

5. Perintah untuk bersungguh-sungguh dalam mencari segala  yang bermanfaat dengan senantiasa memohon pertolongan Allah.

6. Larangan bersikap sebaliknya, yaitu bersikap lemah. (Bermudah-mudah dan malas untuk mengerjakan sesuatu, sebab disitulah yang merupakan bagian dari kemampuan manusia).

Scroll to Top