Kedelapan: Tauhid Asma wa Shifat (1 Bab)

[40] Bab Mereka yang Mengingkari Sesuatu dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah

(Penulis mendatangkan bab ini untuk menjelaskan tidak adanya tauhid bagi mereka yang menolak sesuatu dari nama-nama dan sifat-sifat Allah).

Tauhid asma wa sifat adalah mengesakan Allah dengan apa-apa yang Allah namai dan sifati diri-Nya sendiri dalam kitab-Nya atau lisan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam,  dengan menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri dan meniadakan apa yang ditiadakan-Nya bagi diri-Nya sendiri, tanpa memalingkan dan menolak serta tanpa membagaimanakan dan mempermisalkan-Nya.

Mengapa dikatakan “tanpa memalingkan” bukan “tanpa menta’wil”:

1. Karena seperti ini yang datang dari Alqur’an, maka kita tidak berpaling kepada yang lain.

2. Hal itu lebih mendekati kepada keadilan, sebab mereka adalah ahli taharif (memalingkan) bukan ahli ta’wil.

3. Untuk membuat manusia lari dari mereka. Orang-orang yang mentahrif (memalingkan) apabila mereka disifati dengan ahli ta’wil maka mereka sangat senang.

4. Ta’wil tidak semuanya tercela. Apabila hal itu sesuai dengan dalil maka itu dianggap sah dan diterima dan apabila tidak sesuai dengan dalil maka itu dianggap rusak dan ditolak. Adapun tahrif (memalingkan) semuanya tercela.

Mengapa kita meniadakan tamsil (mempermislakan) dan tidak meniadakan tasybih (menyerupakan)?

1. Karena Alqur’an mendatangkannya dengan kata tamsil, dan ini semuanya tertolak secara mutlak, beda dengan tasybih.

2. Meniadakan tasybih (penyerupaan) secara mutlak tidak benar. Sebab setiap yang berwujud antara yang satu dengan yang lainnya pasti ada sisi kesamaan yang mereka serupa di dalamnya.  Walaupun masing-masing dari mereka memiliki keistimewaan yang membedakannya dari yang lain.

3. Manusia berbeda pendapat dalam penamaan “tasybih”. Sebagian di antara mereka menjadikan penetapan sifat sebagai tasybih.

Kata الإسم (nama) diambil dari kata:

1.  السموyangbermaknameninggi, dimana seseorang dia meninggi dengan namanya dan dengannya ia jelas dan diketahui.

2. السمة  yang bermkana alamat, bahwa ia (nama) adalah alamat bagi yang dinamai.

Perbedaan antara nama dan sifat

Bahwa nama adalah penamaan bagi Allah dan sifat ialah apa yang Dia disifati dengannya.

Mengapa kita mempelajari tauhid asma wa sifat?

1. Agar dapat merealisasikan tauhid. Sebab seseorang tidak dapat dikatakan sebagai seorang yang muwahid (bertauhid) melainkan sampai merealisasikan tiga macam tauhid.

2. Untuk menghidupkan hati. Sebab perkara yang sangat besar untuk menghidupkan hati, bahkan ilmu yang paling tinggi adalah mempelajari dan mengetahui tentang Allah ta’ala.

3. Untuk masuk ke dalam surga. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

للهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Allah memiliki Sembilan puluh sembilan nama barang siapa menghitungnya maka akan masuk surga.

4. Ini adalah pokok dan asal utama yang para salaf berada di atasnya.

5. Agar kita tidak terjatuh sebagaimana terjatuhnya kelompok-kelompok sesat yang mentamsil (mempermisalkan) dan menta’thil (menolak).

6. Agar kita menggunakannya ketika berdoa. Allah berfirman:

وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu (QS. Al-A’roof : 180).

Sebagian yang berkaitan dengan asma wa sifat

1. Nama-nama Allah tidak dapat dibatasi dengan jumlah tertentu. Dalinya adalah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:

«أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ»

“Atau (saya meminta dengan nama-namaMu) dalam ilmu ghaib yang ada pada-Mu”.

Adapun hadits “bahwa Allah memiliki nama sembilan puluh sembilan” bukan maknanya bahwa Allah tidak memiliki nama lain, selain nama-nama ini. Ini semacam ucapan seseorang

yang mengatakan : “saya memiliki seratus ekor kuda yang saya persiapkan untuk sedakah”, bukan maknanya dia hanya memiliki seratus ekor kuda dan tidak memiliki yang lain.

2. Nama-nama Allah menunjukan tentang nama itu sendiri dan menunjukan sifat. Jadi nama-nama tersebut tidak sekedar menunjukan nama semata. Ditinjau dari sisi kepenunjukannya terhadap zat Allah ini adalah nama dan ditinjau dari sisi kepenunjukannya terhadap sifat yang terkadung dalam nama tersebut, itu adalah sifat. Tidak seperti nama-nama kita, dimana kadang bernama Ali (tinggi) tapi ternyata dia orang rendahan.

3. Nama-nama Allah mutaroodifah (saling identik) dan mutabaayinah (saling berbeda). Ditinjau dari kepenunjukannya terhadap nama Allah maka itu mutaroodifah, sebab menunjukan atas penamaan zat yang satu. Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Bijaksana semuanya menunjukan atas penamaan untuk satu zat. Akan tetapi, bila ditinjau dari maknanya maka ini mutabaayinah, sebab makna dari Maha Bijaksana bukan merupakan makna Maha Mendengar.

4. Nama dari nama-nama Allah menunjukan atas zat dan makna, maka wajib bagi kita untuk mengimani bahwa itu adalah nama dari Allah ta’ala juga kita mengimani terhadap sifat yang dikandungnya. Demikian pula kita mengimani apa yang ditunjukan dari sifat ini dari atsar (pengaruh) dan hukum apabila itu adalah nama muta’addi. Contoh: Maha Mendengar, kita mengimani bahwa di antara nama Allah adalah Maha Mendengar, yang itu menunjukan sifat mendengar, dimana sifat mendengar ini terdapat di dalamnya hukum dan atsar (pengaruh), yakni bahwa Dia mendengar dengannya. Adapun kalau nama tersebut bukan merupakan nama muta’adi, seperti Maha Agung, Maha Hidup dan Al-Jalil (Maha Besar), maka kita hanya menetapkan nama dan sifat saja, tetapi tidak menetapkan hukum sebagai pengaruh darinya.

5. Sifat lebih luas dari pada nama, sebab setiap nama terkadung di dalamnya sifat. Sebaliknya tidak setiap sifat kemudian kita menetapkan nama darinya. Allah disifati dengan kalam (berbicara) dan irodah (berkehendak), tetapi Allah tidak dinamai dengan Al-Mutakallim (Maha Berbicara) atau Al-Muriid (Maha Berkehendak).

6. Setiap yang Allah sifati tentang diri-Nya sendiri maka itu sesuai dengan hakekatnya. Namun tidak boleh bagi kita mempermisalkannya dan membagaimanakannya.

Dalil Pertama:

وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَـنِ

Dan mereka kafir terhadap Tuhan yang Maha Pemurah…(QS. Ar-Ra’d : 30).
 

● Orang-orang kafir Quraisy, mereka mengingkari nama ini (Ar-Rahman), namun tidak mengingkari dengan yang dinamai, sebab mereka mengakui tentang adanya Allah ta’ala.

● Ayat ini menunjukan bahwa yang mengingkari satu dari nama-nama Allah, maka dia telah kafir.

Dalil Kedua:

وَفِي «صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ»؛ قَالَ عَلِيٌّ: «حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ، أَتُرِيدُونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُولُهُ؟!».

Diriwayatkan dalam shoheh Bukhari, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu berkata : “Berbicaralah kepada orang-orang dengan apa yang difahami oleh mereka, apakah kalian menginginkan Allah dan Rasul-Nya didustakan ?”.
 
 

● Wajib bagi seorang da’i untuk melihat pada tingkatan akal orang-orang yang dida’wahi dan untuk memperlakukan mereka sesuai dengan tingkat kedudukan mereka serta berbicara kepada mereka sesuai tingkat akal-akal mereka. Seperti ketika kita membawakan hadits kepada mereka maka kita bawakan satu demi satu agar mereka dapat menerima hadits tersebut dan mereka memahaminya dengan tenang. Tidak dengan menda’wahkan kepada mereka, yang akal mereka belum sampai kepadanya.

Dalil Ketiga:

وَرَوَى عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ ابْنِ طَاوُوسٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا انْتَفَضَ لَـمَّا سَمِعَ حَدِيثًا عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي الصِّفَاتِ؛ اسْتِنْكَارًا لِذَلِكَ، فَقَالَ: «مَا فَرَقُ هَؤُلَاءِ؟ يَجِدُونَ رِقَّةً عِنْدَ مُحْكَمِهِ، وَيَهْلِكُونَ عِنْدَ مُتَشَابِهِهِ» انْتَهَى.

Abdur Razak meriwayatkan dari Ma’mar dari Ibnu Thowus dari bapaknya dari Ibnu Abbas, bahwa ia melihat seseorang terkejut ketika mendengar hadits Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam yang memuat tentang sifat-sifat Allah, karena merasa keberatan dengan hal tersebut, maka Ibnu Abbas berkata : “Apa yang dikhawatirkan oleh mereka itu ? mereka menjadi lunak ketika dibacakan ayat-ayat yang muhkamat (jelas pengertiannya), tapi mereka keberatan untuk menerimanya ketika dibacakan ayat-ayat yang mutasyabihat.

● مَا فَرَقُ: Apa kekhawatiran mereka untuk menetapkan sifat yang telah dibacakan dan sampai kepada mereka. Mengapa mereka tidak menetapkannya bagi Allah sebagaimana Allah ta’ala tetapkan bagi diri-Nya sendiri dan yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya?

Dan tidak mengetahui ta’wilnya kecuali Allah ta’ala (QA. Al-Imran :  7).

  • Maka yang dimaksud dengan mutlak adalah yang tidak mengetahuinya kecuali Allah. Seperti hakekat dari sifat-sifat Allah dan hakekat dari surga.
  • Adapun nisbi ialah yang diketahui oleh orang-orang roosikhun (yang dalam) ilmunya, Adapun bagi selain mereka itu adalah mutasyabih.

Tidak ada di dalam Alqur’an sesuatu yang mutasyabih atas semua manusia bila ditinjau dari sisi maknanya, akan tetapi yang salah adalah dalam memahaminya. Oleh karena itu, Ibnu Abbas berkata: “Saya termasuk orang-orang rasikuhun (yang dalam) ilmunya yang mereka mengetahui ta’wilnya”. Beliau tidak mengucapkan ini untuk memuji dirinya sendiri akan tetapi untuk memberitahukan kepada manusia bahwa tidak ada sedikut pun di dalam Alqur’an yang tidak diketahui maknanya. Sebab tidak mungkin dari umat ini, mulai dari zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sampai akhir umat ini tidak ada yang memahami makna Alqur’an, dan bahwa mereka membaca ayat-ayat sifat dalam keadaan tidak memahami makna-maknanya.

Dalil Keempat

وَلَـمَّا سَمِعَتْ قُرَيْشٌ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَذْكُرُ الرَّحْمَنَ أَنْكَرُوا ذَلِكَ، فَأَنْزَلَ اللهُ فِيهِم : ﴿ وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَـنِ﴾

Orang-orang Quraisy ketika mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebut “ArRahman”, mereka mengingkarinya, maka terhadap mereka itu, Allah Subhanahu wata’ala menurunkan firman-Nya (“Dan mereka kafir terhadap Ar-Rahman)”.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Tidak ada keimanan apabila mengingkari sesuatu dari nama-nama dan sifat-sifat Allah. (Bahwa keimanan ternafikan dengannya).

2. Penjelasan ayat dalam surat Ar-Ra’d (Dan mereka kafir terhadap Tuhan yang Maha Pemurah…) (QS. Ar-Ra’d : 30).

3. Tidak menyampaikan sesuatu pembicaraan yang tidak dipahami oleh audiens. (Kita berbicara kepada mereka dengan perkara-perkara yang dapat dipahami oleh akal mereka).

4. Alasannya adalah bahwa itu dapat mengantarkan kepada mendustakan Allah dan Rasul-Nya, meskipun yang mengingkari sebenarnya tidak bermaksud demikian.

5. Ucapan Ibnu Abbas terhadap orang yang mengingkari sesuatu dari asma wa sifat bahwa itu akan membinasakannya.

Scroll to Top