Kesembilan: Larangan-Larangan dan Kesyirikan dalam Ucapan (26 Bab)

 ● Ini adalah bagian pembahasan yang paling panjang dalam kitab ini, sebab merupakan adat kebiasaan penulis adalah menyebutkan secara global terlebih dahulu kemudian beliau jabarkan secara terperinci.

●  Pada pembahasan ini beliau menyebutkan larangan-larangan lafdziyah (lafadz), lafadz-lafadz kesyirikan dan sebagian kesyirikan. Akan tetapi yang lebih beliau fokuskan di sini adalah syirik kecil, sebab ini sangat tersembunyi dan kufur nikmat, sebab hal ini banyak sekali terjadi.

[41] Bab Firman Allah:

يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللّهِ ثُمَّ يُنكِرُونَهَا

(Mereka mengetahui nikmat Allah (tetapi) kemudian mereka mengingkarinya…) (QS. An-Nahl, 83).

(Termasuk syirik adalah kufur nikmat).

Penulis mendatangkan bab ini untuk menjelaskan tidak adanya tauhid bagi mereka yang menolak sesuatu dari nama-nama dan sifat-sifat Allah.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيداً ﴿٦٠﴾

“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu, dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada Thoghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thoghut itu, dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa, 60).

قَالَ مُجَاهِدٌ مَا مَعْنَاهُ: «هُوَ قَوْلُ الرَّجُلِ: هَذَا مَالِي وَرِثْتُهُ عَنْ آبَائِي»، وَقَالَ عَوْنُ بْنُ عَبْدِاللهِ: «يَقُولُونَ: لَوْلَا فُلَانٌ لَمْ يَكُنْ كَذَا»، وَقَالَ ابْنُ قُتَيْبَةَ: «يَقُولُونَ: هَذَا بِشَفَاعَةِ آلِهَتِنَا».

Dalam mentafsirkan ayat di atas imam Mujahid mengatakan  bahwa maksudnya adalah kata-kata seseorang : “Ini adalah harta kekayaan yang aku warisi dari nenek moyangku.” Aun bin Abdullah berkata : “mereka mengatakan kalau bukan karena fulan, tentu tidak akan menjadi begini.” Ibnu Qutaibah berkata : “mereka mengatakan : ini adalah sebab syafa’at sembahan-sembahan kami”.

 ● Nikmat adalah ujian, dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). (QS. Al-Anbiyaa : 35).

● Menyandarkan pemberian nikmat Sang Pencipta kepada orang lain dapat merusak:

1. Tauhid rububiyah;  karena telah menyandarkan nikmat kepada sebab, bahwa sebab ini adalah sebagai pelaku.

 2. Ibadah; sebab ia telah meninggalkan kesyukuran.

● “Mereka mengatakan kalau bukan karena fulan, tentu tidak akan menjadi begini”, Apabila orang mengatakannya hanya sebagai pengabaran, dan pengabaran ini sesuai dengan kenyataan maka itu tidak mengapa.

sebagian ulama salaf mengatakan : “yaitu seperti ucapan mereka : anginnya bagus, nahkodanya handal sekali, dan sebagainya, yang bisa muncul dari ucapan banyak orang.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Penjelasan mengetahui nikmat dan mengingkarinya. (Yakni mereka mengetahui dengan perasaan mereka bahwa itu dari Allah ta’ala tetapi mereka menyandarkannya kepada selain-Nya.

2. Mengetahui bahwa perkara ini banyak diucapkan oleh lisan manusia. (Hal semacam ini diucapkan para penumpang ketika pesawat telah mendarat).

3. Penamaan ucapan seperti ini sebagai pengingkaran terhadap nikmat. (Pengingakaran atas kebaikan Allah, bukan pengingakaran atas keberadaan nikmat tersebut, sebab mereka mengetahui dan merasakan keberadaannya).

4. Memungkinkan dua perkara yang saling kontradiksi terkumpul dalam hati. (Mengakui nikmat dan mengingkarinya).

[42] Bab Firman Allah:

[42] Bab Firman Allah:

فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٢٢﴾

(Maka janganlah kamu membuat sekutu untuk Allah padahal kamu  mengetahui)  (QS. Al Baqarah, 22).

(Pengertian tentang tandingan atau sekutu bagi Allah)

            Maknanya adalah jangnalah kalian menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu dalam ibadah sementara kalian tahu bahwa Dia tidak memiliki sekutu dalam rububiyah-Nya. Ayat di atas di dalamnya terdapat awal perintah dan awal seruan untuk bertauhid dan awal larangangan untuk tidak berbuat syirik.

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي الآيَةِ: (الأَنْدَادُ؛ هُوَ الشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ عَلَى صَفَاةٍ سَوْدَاءَ فِي ظُلْـمَةِ اللَّيْلِ، وَهُوَ أَنْ تَقُولَ: وَاللهِ وَحَيَاتِكِ يَا فُلَانَةُ، وَحَيَاتِي، وَتَقُولَ: لَوْلَا كُلَيْبَةُ هَذَا لأَتَانَا اللُّصُوصُ، وَلَوْلَا الْبَطُّ فِي الدَّارِ لأَتَى اللُّصُوصُ، وَقَوْلُ الرَّجُلِ لِصَاحِبِهِ: مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، وَقَوْلُ الرَّجُلِ: لَوْلَا اللهُ وَفُلَانٌ، لَا تَجْعَلْ فِيهَا فُلَانًا، هَذَا كُلُّهُ بِهِ شِرْكٌ)، رَوَاهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ.

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan : “ sekutu-sekutu untuk Allah adalah syirik yang lebih sulit untuk dikenali dari pada semut kecil yang merayap di atas batu hitam pada malam hari yang gelap gulita. Yaitu seperti ucapan anda : ‘demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan, juga demi hidupku’, Atau seperti ucapan : ‘kalau bukan karena anjing ini, tentu kita didatangi pencuri-pencuri itu’, atau seperti ucapan : ‘kalau bukan karena angsa yang di rumah ini, tentu kita didatangi pencuri-pencuri tersebut’, atau seperti ucapan seseorang kepada kawan-kawannya : ‘ini terjadi karena kehendak Allah dan kehendakmu’, atau seperti ucapan seseorang : ‘kalaulah bukan karena Allah dan fulan’. Oleh karena itu, janganlah anda menyertakan “si fulan” dalam ucapan-ucapan diatas, karena bisa menjatuhkan anda kedalam kemusyrikan.” (HR. Ibnu Abi Hatim)

 ● “Lebih sulit untuk dikenali…” : ini adalah ucapan sudah taraf pada sulitnya mengenalinya. Maka apabila kesyirikan di dalam hati anak Adam sangat susah dikenali, maka marilah kita memohon kepada Allah agar menolong kita semua supaya terbebas darinya.

Dalil Kedua

وَعَنْ عُمَرَ بْنِ الْـخَطَّابِ ﭬال أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: «مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَصَحَّحَهُ الْـحَاكِمُ.

Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, maka ia telah berbuat kekafiran atau kemusyrikan” (HR. Turmudzi, dan ia nyatakan sebagai hadits hasan, dan dinyatakan oleh Al Hakim shoheh).

Dalil Ketiga

وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: (لَأَنْ أَحْلِفَ بِاللهِ كَاذِبًا؛ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ صَادِقًا).

Dan Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata : “ketika saya bersumpah bohong dengan menyebut nama Allah, lebih Aku sukai daripada bersumpah jujur tetapi dengan menyebut nama selain-Nya.”

 ● “Maka ia telah berbuat kekafiran atau kemusyrikan” : Kekufuran dan kesyirikan besar kalau dia meyakini bahwa nama yang dapakai untuk bersumpah setara dengan Allah dalam pengagungan dan keagungan. Kalau tidak maka itu syirik kecil.

● Ibnu Abbas radhi Allahu anh tentu tidak suka terhadap bersumpah bohong dengan nama Allah atau bersumpah jujur dengan nama selain Allah, akan tetapi keburukan syirik lebih besar daripada keburukan dosa berdusta, sebab dosa syirik tidak terampuni.

Dalil Keempat

وَعَنْ حُذَيْفَةَ ﭬ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: «لَا تَقُولُوا: مَا شَاءَ اللهُ وَشَاءَ فُلَانٌ، وَلَكِنْ قُولُوا: مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ»، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ.

Diriwayatkan dari Hudzaifah radhi Allahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda : “Janganlah kalian mengatakan : ‘atas kehendak Allah dan kehendak si fulan’, tapi katakanlah : ‘atas kehendak Allah kemudian atas kehendak si fulan’.” ( HR. Abu Daud dengan sanad yang baik ).

Dalil Kelima

وَجَاءَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ أَنَّهُ يَكْرَهُ أنْ يَقُولَ الرَّجُلُ: (أَعُوذُ بِاللهِ وَبِكَ)، وَيَجُوزُ أَنْ يَقُولَ: (بِاللهِ ثُمَّ بِكَ)، قَالَ: وَيَقُولُ: (لَوْلَا اللهُ ثُمَّ فُلَانٌ)، وَلا تَقُولُوا: (لَوْلَا اللهُ وَفُلَانٌ).

Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha’i bahwa ia melarang  ucapan : “Aku berlindung kepada Allah dan kepadamu”, tetapi ia memperbolehkan ucapan : “Aku berlindung kepada Allah, kemudian kepadamu”, serta ucapan : ‘kalau bukan karena Allah kemudian karena si fulan’, dan ia tidak memperbolehkan ucapan : ‘kalau bukan karena Allah dan karena fulan’.

 ● “Akan tetapi ucapkanlah” : syariat Islam apabila menutup pintu keharaman maka pasti akan membukakan pintu yang diperbolehkan agar mudah meninggalkan perkara yang haram dan agar kita mengetahui keagungan syariat ini.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Tafsir ayat dalam surat Albaqoroh berkaitan dengan sekutu-sekutu bagi Allah.

2. Penjelasan para sahabat bahwa ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah yang berkaitan dengan syirik akbar itu mencakup juga tentang syirik ashghor (kecil). (Karena sekutu meliputi tandingan-tandingan yang setara secara mutlak atau hanya pada sebagian saja).

3. Bahwa bersumpah dengan nama selain adalah adalah kesyirikan. (Seperti ucapan  : Demi hidupmu, demi hidupku, demi dirimu di dalam jiwaku, demi diriki, demi leherku, demi wajahku, demi Nabi, demi kehormatanku, demi Kabah, demi shalatmu, demi puasamu, demi umurmu, demi pertolonganmu, atau berkata dalam sumpahnya : dia Yahudi atau Nasarani atau kafir kalau dia melakukan hal itu).

4. Bersumpah menggunakan nama selain Allah walaupun dalam kebenaran, itu lebih besar dosanya daripada sumpah palsu dengan menggunakan nama Allah. (Yaitu bersumpah dengan nama Allah secara dusta untuk mengambil harta seorang muslim).

5. Ada perbedaan yang jelas sekali antara lafadz huruf (و) yang berarti “dan” dengan huruf (ثم) yang berarti “ kemudian”. (Karena huruf و terkandung di dalamnya persamaan sehingga masuk kategori kesyirikan). Adapun huruf ثم terkadung di dalamnya pengurutan dan tarokhi (pengakhiran waktu) sehingga tidak masuk dalam kategori syirik. Seperti ucapan mereka: Saya di bawah perlindungan Allah dan perlindunganmu, saya dalam penjagaan Allah dan penjagaanmu, tidak ada yang saya andalkan kecuali Allah dan kamu, saya bertawakal kepada Allah dan kepadamu, ini dari Allah dan dari kamu, demi Allah saya berserah dengan yang di langit dan kepada kamu di bumi, saya bertaubat kepada Allah dan kepadamu.

[43] Bab Tentang Orang yang tidak Puas Terhadap Sumpah yang Menggunakan Nama Allah

(Termasuk dosa besar)

 ● Orang yang bersumpah, ia hendak memperkuat apa yang disumpahkannya dengan menyebutkan sesuatu yang paling agung, yang ini tentunya terdapat pengagungan terhadap yang dipakai namanya untuk bersumpah. Maka ketika tidak puas dengan sumpah menggunakan  nama Allah, hal ini menunjukan adanya kurangnya pengagungan terhadap Allah. Tentu hal semacam ini dapat mengurangi kesempurnaan tauhid.

Dalil Pertama

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ﭭ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: «لَا تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ، مَنْ حَلَفَ بِاللهِ فَلْيَصْدُقْ، وَمَنْ حُلِفَ لَهُ بِاللهِ فَلْيَرْضَ، وَمَنْ لَمْ يَرْضَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ»، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه بِسَنَدٍ حَسَنٍ.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhi Allahu anh, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Janganlah kalian bersumpah dengan nama nenek moyang kalian! Barangsiapa yang bersumpah dengan nama Allah, maka hendaknya ia jujur, dan barangsiapa yang diberi sumpah dengan nama Allah maka hendaklah ia ridha, barangsiapa yang tidak rela menerima sumpah tersebut maka lepaslah ia dari Allah” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang hasan).

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Larangan bersumpah menggunakan nenek moyang. (Larangan yang menunjukan haram).

2. Perintah kepada yang diberi sumpah menggunakan nama Allah untuk ridha.

3. Ancaman bagi yang tidak ridha.

4. Perintah kepada yang bersumpah agar jujur, sebab kejujuran merupakan perkara yang wajib apalagi bila diperkuat dengan sumpah menggunakan nama Allah.

[44] Bab Ucapan : Atas Kehendak Allah dan Kehendakmu

Dalil Pertama

عَنْ قُتَيْلَةَ ﭬ: أَنَّ يَهُودِيًّا أَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ: إِنَّكُمْ تُشْـرِكُونَ، تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، وَتَقُولُونَ: وَالْكَعْبَةِ، فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا: وَرَبِّ الْكَعْبَةِ، وَأَنْ يَقُولُوا: مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ، رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ.

Qutaibah radhiallahu’anhu berkata : “Bahwa ada seorang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata : “Sesungguhnya kamu sekalian telah melakukan perbuatan syirik, kalian mengucapkan: ‘atas kehendak Allah dan kehendakmu’ dan mengucapkan : ‘demi Ka’bah’, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada para sahabat apabila hendak bersumpah supaya mengucapkan : ‘demi Rabb Pemilik ka’bah’, dan mengucapkan : ‘atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu’. (HR. An- Nasai dan ia nyatakan sebagai hadits shoheh).

Dalil Kedua

وَلَهُ أَيْضًا عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ ﷺ: مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، فَقَالَ: «أَجَعَلْتَنِي للهِ نِدًّا؟! مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ».

  Dan diriwaytkan pula imam An-Nasai dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, ia menuturkan : “Bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam : ‘atas kehendak Allah dan kehendakmu’, maka Nabi bersabda : “apakah kamu ingin menjadikan diriku sekutu bagi Allah ? hanya atas kehendak Allah semata”.

 ● Mengapa orang-orang Yahudi dinamakan dengan Yahudi?

1. Karena mereka mengucapkan : (هدنا إليك) yang bermakna kami kembali kepadamu.

2. Karena kakek mereka bernama Yahudza bin Ya’qub.

● Pada hadits yang pertama ada beberapa faedah yang dapat kita petik:

1. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari perkataan orang Yahudi padahal niat mereka buruk, sebab apa yang mereka katakana adalah kebenaran.

2. Disyariatkan untuk kembali kepada kebenaran walaupun yang mengingatkan hal tersebut bukan orang-orang yang baik.

3. Seyogyanya apabila merubah sesuatu, maka hendaklah dirubah kepada sesuatu yang lebih dekat kepada yang pertama.

● Mengapa tidak ada yang memperingatkan perkara ini kecuali orang Yahudi? Hikmahnya adalah untuk menguji orang-orang Yahudi tersebut yang mereka suka mengritik kaum muslimin padahal mereka sendiri mengerjakan kesyirikan besar, mereka suka melihat aib kaum muslimin tetapi aib mereka yang besar tidak mereka lihat.

● “Hanya atas kehendak Allah semata” : Rasulullah shalallahu membimbing umatnya kepada yang dapat memutus kesyirikan. Beliau tidak mengatakan ucapakanlah “atas kehendak Allah kemudian atas kehendak si fulan”. Tujuannya adalah untuk memutus setiap sarana yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan walaupun itu dianggap jauh. Tujuannya adalah untuk menjaga benteng tauhid dan sebagai bentuk adap kepada Allah.

Dalil Ketiga

وَلاِبْنِ مَاجَه، عَنِ الطُّفَيْلِ -أَخِي عَائِشَةَ لِأُمِّهَا- قَالَ: رَأَيْتُ كَأَنِّي أَتَيْتُ عَلَى نَفَرٍ مِنَ الْيَهُودِ، قُلْتُ: إِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: عُزَيْرٌ ابْنُ اللهِ، قَالُوا: وَإِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللهُ وَشَاءَ مُحَمَّدٌ، ثُمَّ مَرَرْتُ بِنَفَرٍ مِنَ النَّصَارَى، فَقُلْتُ: إِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: الْـمَسِيحُ ابْنُ اللهِ، قَالُوا: وَإِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللهُ وَشَاءَ مُحَمَّدٌ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَخْبَرْتُ بِهَا مَنْ أَخْبَرْتُ، ثُمَّ أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: «هَلْ أَخْبَرْتَ بِهَا أَحَدًا؟»، قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: «أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ طُفَيْلًا رَأَى رُؤْيا أَخْبَرَ بِهَا مَنْ أَخْبَرَ مِنْكُمْ، وَإِنَّكُمْ قُلْتُمْ كَلِمَةً كَانَ يَمْنَعُنِي كَذَا وَكَذَا أَنْ أَنْهَاكُمْ عَنْهَا، فَلَا تَقُولُوا: مَا شَاءَ اللهُ وَشَاءَ مُحَمَّدٌ، وَلَكِنْ قُولُوا: مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ».

Diriwayatkan oleh Ibnu majah, dari At-Thufail saudara seibu Aisyah, radhi Allahu anha, ia berkata : “Aku bermimpi seolah-olah aku mendatangi sekelompok orang-orang Yahudi, dan aku berkata kepada mereka : ‘Sungguh kalian adalah sebaik-baik kaum jika kalian tidak mengatakan : Uzair putra Allah’. Mereka menjawab : ‘Sungguh kalian juga sebaik-baik kaum jika kalian tidak mengatakan : ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad’. Kemudian aku melewati sekelompok orang-orang Nasrani, dan aku berkata kepada mereka : ‘Sungguh kalian adalah sebaik-baik kaum jika kalian tidak mengatakan : ‘Al Masih putra Allah’. Mereka pun balik berkata : ‘Sungguh kalian juga sebaik-baik kaum jika kalian tidak mengatakan : ‘Atas kehendak Allah dan Muhammad’. Maka pada keesokan harinya aku memberitahukan mimpiku tersebut kepada kawan-kawanku, setelah itu aku mendatangi Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan aku beritahukan hal itu kepada beliau. Kemudian Rasul bersabda : “Apakah engkau telah memberitahukannya kepada seseorang ?, aku manjawab : ‘ya’. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda yang diawalinya dengan memuji nama Allah subhanahu wata’ala : “Amma ba’du, sesungguhnya Thufail telah bermimpi tentang sesuatu, dan telah memberitahukannya kepada sebagian orang dari kalian. Dan sesunguhnya kalian telah mengucapkan suatu ucapan, dimana perkara ini dan itu telah mencegahku untuk melarang kalian darinya, oleh karena itu, janganlah kalian mengatakan : ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad’, akan tetapi ucapkanlah : ‘Atas kehendak Allah semata’.”

● “Dimana perkara ini dan itu telah mencegahku untuk melarang kalian darinya” : Yaitu karena rasa malu dari beliau, akan tetapi hal itu bukan berarti beliau diam dari mengingkari kebatilan. Akan tetapi yang mencegah beliau untuk melarangnya adalah belum adanya perintah dari Allah berkaitan dengan hal itu. Seperti minuman khamar (yang memabukan) beliau hanya diam melihatnya sampai ada pengharamannya dari Allah ta’ala.

[45] Bab Barang Siapa Mecela Masa maka Dia telah Menyakiti Allah

● “Telah menyakiti Allah” : Tidak melazimkan ketika ada ungkapan menyakiti lalu ada dharor (mudarat) yang ditimbulkan. Seseorang merasa tersakiti ketika mendengar kata-kata yang buruk namun dia tidak mendapatkan mudharat dari hal itu. Karena itu Allah menetapkan sifat tersakiti di dalam Alqur’an namun Allah menafikan bahwa ada sesuatu yang dapat memudaratkan-Nya. 

● “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja” : Bahwa kehidupan dan  wujud keberadaan hanya di dunia saja, tidak ada kehidupan berikutnya.

“Tidak ada yang membinasakan kita selain masa” : Tidaklah kematian kita terjadi dengan perintah dan takdir Allah, akan tetapi terjadi dengan umur yang panjang bagi yang memiliki umur panjang dan dengan sakit atau stres atau banyak masalah bagi yang umurnya pendek. Intinya yang membinasakan mereka semua adalah masa.

● “Anak adam (manusia) menyakiti Aku” : Yakni menimpakan kepada-Ku rasa sakit. Oleh  karena itu sifat rasa sakit bagi Allah adalah perkara yang wajib untuk kita menetapkannya sebagaimana Allah telah menetapkannya bagi diri-Nya sendiri. Sebab kita semua tidak lebih mengetahui tentang Allah melebihi diri-Nya sendiri. Akan tetapi rasa sakit bagi Allah tidak sama dengan rasa sakit yang dirasakan oleh para makhluk.

● “Mencela masa” : Mengutuknya, menganggapnya jelak, menyalahkannya dan melaknatnya. Addahr adalah zaman atau waktu.

● “Aku adalah Addahr (masa)” : Yang mengatur, mengendalikan dan memerintah masa, seperti apa yang Allah lakukan pada angin dan yang lainnya.

Apakah ad-dahr (masa) termasuk dari nama Allah ta’ala?

Masa bukan merupakan nama Allah ta’ala, sebabnya adalah:

1. Redaksi ayat itu sendiri membantahnya, seandainya ad-dahr termasuk nama Allah ta’ala maka keyakinan jahiliyah dahulu berkaitan dengan ini dapat dianggap benar.

2. Radaksi hadits juga membantahnya.

3. Barang siapa menjadikan ad-dahr sebagai nama Allah ta’ala, maka ia telah menjadikan makhluk sebagai pencipta.

4. Nama-nama Allah semuanya indah yang mencapai pada taraf kesempurnaan keindahan dan kebagusan serta memiliki makna-makna. Adapun ad-dahar tidak ada kesempurnaan keindahan di dalamnya.

5. Nama-nama Allah semuanya musytaqaah (bentukan) bukan nama yang jamid.

6. Disana terdapat larangan untuk mencela hewan tunggangan, angin dan panas.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Larangan mencaci masa. (Seperti orang mengatakan: wahai masa yang mendatangkan kerugian” atau “wahai masa yang buruk” atau “wahai zaman yang menipu”.

2. Penamaan menyakiti masa berarti menyakiti Allah.

3. Perlu renungan terhadap sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam : “Karena Allah sesungguhnya adalah ad-dahr (masa). (Yang mengendalikan dan mengatur masa).

4. Seseorang boleh jadi masuk pada kategori mencaci masa, meskipun ia tidak bermaksud demikian dalam hatinya.

5. Penjelasan ayat dalam surat Al-Jatsiyah, {tidak ada yang membinasakan kita selain masa…}  (QS. Al-Jatsiyah : 24).

[46] Bab Memakai Gelar Qaadhil Qudhat (Hakim dari Segala Hakim)

● Yaitu seseorang menyandangkan kepada dirinya sendiri dengan nama ini atau dia rela dengannya ketika orang lain menamakannya dengannya.

Apa hukumnya seseorang menamakan dirinya hakim dari segala hakim?

1. Dosa besar, Apabila niatnya hanya sekedar penamaan saja.

2. Syirik besar, kalau berkeyakinan bahwa ia adalah hakim dari segala hakim sampai pun atas Allah ta’ala.

3. Boleh, namun yang afdhal dan utama tidak melakukannya, yaitu apabila diikat dan dibatasi hanya pada kelompok tertentu atau negri atau waktu.

Dalil Pertama

في الصَّحِيحِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ﭬ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: «إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللهِ: رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الأَمْلاكِ، لَا مَالِكَ إِلَّا اللهُ»، قَالَ سُفْيَانُ: مِثْلُ شَاهَانْ شَاهْ، وَفِي رِوَايَةٍ: «أَغْيَظُ رَجُلٍ عَلَى اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَخْبَثُهُ»، قَوْلُهُ: «أَخْنَعُ» يَعْنِي أَوْضَعُ.

 Diriwayatkan dalam hadits shaheh, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya nama (gelar) yang paling hina di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah “Rajanya para raja”, tiada raja yang memiliki kekuasaan mutlak kecuali Allah ” Sufyan mengemukakan contoh dengan berkata : ‘seperti gelar syahan syah’, dan dalam riwayat yang lain dikatakan : “Dia adalah orang yang paling dimurkai dan paling jahat di sisi Allah pada hari kiamat … ”

أَخْنَعَ : Orang ini di hukum dengan lawan keinginannya. Yang semisal dengan ini adalah menamakan dirinya dengan yang menunjukan kesombongan, kekuasaan dan pengagungan.

●  أَغْيَظُ : Ini menunjukan penetapan sifat Al-Ghaidz (marah) bagi Allah, dan itu adalah sifat yang layak sesuai kebesaran Allah. Yang nampak bahwa sifat Al-Ghaiz melebihi marah biasa.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Larangan menggunakan gelar “Rajanya para raja”.

2. Bahwa nama yang memiliki makna seperti itu maka itu digolongkan sama, sebagaiamana yang telah diketakan Sufyan. (Hakim dari segala hakim, penguasa dari segala penguasa).

3. Perlunya mencermati alasan mengapa dilarang keras bernama dengan gelar ini dan semisalnya meskipun hati tidak bermaksud dan mengingankan maknanya.

4. Perlunya mencermati bahwa larangan ini demi Allah ta’ala.

[47] Bab Memuliakan Nama-Nama Allah dan Mengganti Nama untuk Tujuan itu

tetapi makna yang mengandung makna. Karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengganti kunyahnya dengan yang layak baginya, dan Rasulullah tidak menyuruhnya untuk mengulangi akikah. 

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Wajib memuliakan nama-nama dan Sifat-sifat Allah  walaupun ucapan (menamakan seseorang) tidak bermaksud menginginkan maknanya. (Nama yang dikhususukan bagi Allah atau penamaan dengannya menghendaki sifat yang terkandung dalam nama tersebut).

2. Merubah nama demi memuliakan Allah ta’ala. (Demikian pula kalau nama tersebut mengandung sesuatu yang tidak pantas).

3. Memilih nama anak yang tertua untuk kunyah. (Berkunyah atau mengawali panggilan nama dengan Abu atau yang sejenisnya diperbolehkan, namun tidak boleh berkunyah dengan yang mengandung penyekutuan terhadap Allah.

[48] Bab Mereka yang Bersendau Gurau dengan Sesuatu yang Terdapat di Dalamnya Nama Allah, Alqur’an dan Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Dalil Pertama

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. At-Taubah : 65).

Dalil Kedua

عن ابنِ عُمَرَ، ومحمَّدِ بنِ كَعْبٍ، وزيدِ بنِ أسلمَ، وقَتادةَ – دَخَلَ حَدِيثُ بَعْضِهِم في بَعْضِ-؛ أنَّهُ قالَ رجُلٌ في غَزْوَةِ تَبوك: مَا رَأَيْنا مِثْلَ قُرَّائِنا هَؤلاءِ أرغَبَ بُطونًا، ولا أَكْذَبَ ألَسُنًا، ولا أجْبَنَ عندَ اللِّقاءِ – يَعني الرَّسُولَ ﷺ وأَصْحَابَهُ القُرَّاءَ -، فقالَ له عَوْفُ بنُ مالكٍ: كَذَبْتَ؛ ولَكِنَّكَ مُنَافِقٌ، لأُخْبِرَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ، فَذَهبَ عوْفٌ إلى رَسُولِ اللهِ ﷺ لِيُخْبِرَهُ، فَوجَدَ القُرْآنَ قَدْ سَبَقَهُ، فَجَاءَ ذَلَكَ الرَّجُلُ إِلى رَسُولِ اللهِ ﷺ وَقَدْ ارْتَحَلَ، وَرَكِبَ ناقَتَهُ، فقالَ: يا رَسُولَ اللهِ! إنَّما كُنَّا نَخُوضُ ونَلْعَبُ ونَتَحَدَّثُ حَدِيثَ الرَّكْبِ، نَقْطَعُ بِهِ عَنَّا الطَّرِيقِ، قَالَ ابْنُ عُمَر: كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ متعلِّقًا بِنِسْعَةِ ناقَةِ رَسولِ اللهِ ﷺ، وإِنَّ الحِجَارةَ تَنْكُبُ رِجْلَيْهِ، وَهُوَ يَقُولُ: إِنَّما كُنَّا نَخُوضُ ونَلْعَبُ، فيقولُ لَهُ رسولُ اللهِ ﷺ:  ﴿ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ﴾، مَا يَلْتَفِتُ إِليهِ، ومَا يَزِيدُهُ عَلَيْهِ.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Kaab, Zaid bin Aslam, dan Qatadah, -pembicaraan sebagian mereka terhadap yang lain masuk pada perkara-  : “Bahwasanya ketika dalam peperangan tabuk, ada seseorang yang berkata : “Belum pernah kami melihat seperti para qurra (ahli Alqur’an)  ini, orang yang lebih buncit perutnya, dan lebih dusta mulutnya, dan lebih pengecut dalam peperangan”, maksudnya adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabat yang ahli membaca Alqur’an. Maka berkatalah Auf bin Malik kepadanya: “kau pendusta, kau munafik, aku akan beritahukan hal ini kepada Rasulullah”, lalu berangkatlah Auf bin Malik kepada Rasulullah untuk memberitahukan hal ini kepada beliau, akan tetapi sebelum ia sampai, telah turun wahyu kepada beliau.

Dan ketika orang itu datang kepada Rasulullah, beliau sudah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya, maka berkatalah ia kepada Rasulullah : “Ya Rasulullah, sebenarnya kami hanya bersenda gurau dan mengobrol sebagaimana obrolan orang yang mengadakan perjalanan untuk menghilangkan penatnya perjalanan”, kata Ibnu Umar : “sepertinya aku melihat orang tadi berpegangan pada tali pengikat onta Rasulullah, sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu, sambil berkata : “kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”, kemudian Rasulullah bersabda  kepadanya : “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok olok”. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengatakan seperti itu tanpa menengok, dan tidak bersabda kepadanya lebih dari pada itu.

● قُرَّائِنا (ahli Alqur’an) : Yang dimaksud dengan mereka adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya.

● ولَكِنَّكَ مُنَافِقٌ (kamu adalah munafik) : Dengan ini dapat diketahui bahwa mereka yang mencela para sahabat adalah orang yang kafir, sebab mencela para sahabat sama saja mencela Allah, agama Allah dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

● بِنِسْعَةِ  : Tali pengikat untuk mengekang tunggangan.

● تَنْكُبُ رِجْلَيْهِ : Memukul-mukul kedua kakinya.

Faedah-Faedah dari hadits

1. Penjelasan berkaitan dengan ilmu Allah yang mengetahui perkara-perkara yang akan terjadi. Allah Maha Mengetahui tentang perkara-perkara yang telah terjadi dan perkara-perkara yang akan terjadi.

2. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menghukumi sesuai yang diturunkan kepadanya.

3. Mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya merupakan kekufuran yang paling besar.

4. Orang yang mengolok-olok Allah adalah kafir.

5. Mempergunakan sikap kasar pada tempatnya.

6. Menerima taubatnya pengolok-olok  dan yang semisalnya dengan syarat-syaratnya.

Catatan:

1. Orang yang hadir ketika Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya dicela, maka sama saja dengan yang mencela. Melainkan ia mengingkarinya dan berlalu dari tempat itu. Allah berfirman:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللّهِ يُكَفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُواْ مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِّثْلُهُمْ ﴿١٤٠﴾

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Alqur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (QS. An-Niisa : 140).

2. Jangan pernah menyebut Alqur’an atau hadits dengan tujuan agar manusia tertawa. Maka hendaknya anda berhati-hati dan merasa takut ketika menyebutkan keduanya.

3. Apabila ucapan seseorang memungkinkan dipahami mencela maka yang mengucapkannya ini harus diberi peringatan. Apabila dia bertaubat,  inilah yang diharapkan, kalau tidak maka dia termasuk mustahzi (orang yang mengolok-olok).

4. Harus berhati-hati dari sifat ujub dan merasa bangga. Laki-laki yang disebutkan dalam hadits, ia telah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Tabuk, namun kemudian terjadilah apa yang terjadi, ia membinasakan dirinya sendiri.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Masalah yang sangat penting sekali, bahwa orang yang bersenda gurau dengan menyebut nama Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya adalah kafir.

2. Ini adalah penafsiran dari ayat di atas, untuk orang yang melakukan perbuatan itu, siapapun dia. (Munafik ataupun bukan munafik).

3. Ada perbedaan yang sangat jelas antara namimah (mengadu domba) dan menasehati karena Allah dan Rasul-Nya. (Yang dikehendaki darinya adalah untuk menghormati syiar-syiar Allah).

4. Ada perbedaan yang cukup jelas antara sikap memaafkan yang dicintai Allah (di dalamnya ada perbaikan) dengan bersikap tegas terhadap musuh-musuh Allah. (Namun mempergunakan sikap lemah lembut dan lunak di dalam da’wah kadang merupakan suatu yang lebih afdhal untuk dilakukan).

5. Tidak setiap uzur (alasan-alasan untuk membenarkan perbuatan) dapat diterima. ( Apabila uzur yang disampaikan adalah batil).

[49] Bab Tentang Firman Allah:

وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِّنَّا مِن بَعْدِ ضَرَّاء مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَذَا لِي

Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: “Ini adalah hakku…(QS. Fushilat : 50).

قالَ مُجاهِدٌ: «هٰذا بِعَمَلي، وأَنا مَحْقوقٌ بهِ»، وقالَ ابنُ عبَّاسٍ: «يريدُ من عِنْدي».

Dalam menafsirkan ayat ini Mujahid mengatakan : “ini adalah karena jerih payahku, dan akulah yang berhak memilikinya”.

Sedangkan Ibnu Abbas mengatakan : “ini adalah dari diriku sendiri”.

● Apabila seseorang menyandarkan nikmat kepada jerih payah dan hasil usahanya maka di dalamnya terdapat penyekutuan dalam rububiyah Allah. Dan apabila ia sandarkan kepada Allah akan tetapi berprasangka bahwa ia sangat layak mendapatkannya dan bahwa apa yang Allah berikan kepadanya bukan hanya semata kebaikan Allah akan tetapi karena ia memang berhak mendapatkannya, maka di dalamnya terdapat semacam memposisian dan mengangkat dirinya pada kedudukan ubudiyah.

Dalil Kedua

Allah berfirman:

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِندِي

Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (QS. Al-Qashash : 78).

قَالَ قَتَادَةُ: «عَلَى عِلْمٍ مِنِّي بِوجُوهِ الْـمَكَاسِبِ»، وَقَالَ آخَرونَ: «عَلى عِلْمٍ مِنَ اللهِ أنِّي لَهُ أهْلٌ»، وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِ مُجَاهِدٍ: «أُوتِيتُهُ عَلَى شَرَفٍ».

Qotadah dalam menafsirkan ayat ini mengatakan: “Maksudnya : karena ilmu pengetahuanku tentang cara-cara berusaha”. Ahli tafsir lainnya mengatakan : “Karena Allah mengetahui bahwa aku orang yang layak menerima harta kekayaan itu”, dan inilah makna yang dimaksudkan oleh Mujahid : “aku diberi harta kekayaan ini atas kemulianku”.

Dalil Ketiga

وَعَنْ أَبي هُرَيْرَةَ ﭬ؛ أنَّهُ سِمَعَ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: «إِنَّ ثَلَاثَةً مِنْ بَني إِسْرَائِيلَ: أَبْرَصَ وَأَقْرَعَ وَأَعْمَى، فأَرَادَ اللهُ أنْ يَبْتَليَهُمْ، فَبَعَثَ إِلَيْهِمْ مَلَكًا، فَأتَى الأَبْرَصَ، فَقَالَ: فَأيُّ شَيءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: لَوْنٌ حَسَنٌ، وَجِلْدٌ حَسَنٌ، وَيَذْهبُ عَنِّي الَّذي قَدْ قَذِرَنِي النَّاسُ بِهِ، قَالَ: فَمَسَحَهُ، فَذَهَبَ عَنْهُ قَذَرُهُ؛

فأُعطيَ لَوْنًا حَسَنًا، وَجِلْدًا حَسَنًا، قَالَ: فَأَيُّ الْـمَالِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: الإِبِلَ أَوِ البَقَر- شَكَّ إِسْحَاقُ –  فأُعْطِيَ نَاقَةً عُشَـرَاءَ، فَقَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فِيهَا.قَالَ: فأَتَى الأَقْرَعَ، فَقَالَ: أَيُّ شيءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: شَعَرٌ حَسَنٌ، وَيَذْهَبُ عَنِّي الَّذي قَدْ قَذِرنِي النَّاسُ بِهِ، فَمَسَحهُ، فَذَهبَ عنْهُ، وَأُعطِـيَ شَعْـَـرًا حَسَنًا، قَالَ: فَأيُّ الْـمَالِ أَحَبُّ إِليْكَ؟ قَالَ: البَقَرُ أوِ الإِبِلُ، فأُعطِيَ بقَرةً حامِلًا، قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فِيهَا.

فأَتَى الأَعْمَى، فَقَالَ: أَيُّ شَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قالَ: أن يَرُدَّ اللهُ إِلَيَّ بَصَرِي؛ فَأُبْصِرَ بِهِ النَّاسَ، فَمَسَحَهُ، فَرَدَّ اللهُ إِلَيْهِ بَصَرَهُ، قَالَ: فَأَيُّ الْـمَالِ أَحَبُّ إِلَيْكَ، قالَ: الغَنَم، وَادٍ مِنَ الغَنَمِ.

قَالَ: ثُمَّ إِنَّه أَتَى الأَبْرَصَ فِي صُورَتِهِ وَهَيْئَتِهِ، فَقَالَ: رَجُلٌ مِسْكينٌ، وَابْنُ سَبيلٍ، قَدِ انقَطَعتْ بِيَ الْحِبَالُ في سَفَريِ هَذَا؛ فَلَا بلَاغَ لِيَ اليَوْمَ إِلَّا بِاللهِ ثُمَّ بكَ، أَسْأَلُكَ بِالَّذِي أَعْطَاكَ اللَّونَ الْـحَسَنَ، وَالْجِلْدَ الْحسَنَ، وَالْـمَالَ؛ بَعِيرًا أتَبلَّغُ بِهِ فِي سَفَرِي، فَقَالَ: الْـحُقُوقُ كَثِيرَةٌ، فَقَالَ لَهُ: كَأَنِّي أَعْرِفُكَ! أَلَمْ تَكُنْ أبْرَصَ يَقْذَرُكَ النَّاسُ، فَقِيْرًا فَأَعطاكَ اللهُ الْـمَالَ؟ فَقَالَ: إِنَّمَا وَرِثْتُ هَذَا الْـمَالَ كَابِرًا عَنْ كَابِرٍ، قَالَ: إِنْ كُنْتَ كَاذِبًا؛ فَصَيَّرَكَ اللهُ إِلَى مَا كُنْتَ. قَالَ: وَأَتَى الأَقْرَعَ فِي صُورَتِهِ وَهَيْئَتِهِ، فَقَالَ لَهُ مِثْلَ مَا قَالَ لِهَذَا، وَرَدَّ عَلَيْهِ مِثْلَ مَا رَدَّ عَلَيْهِ هَذَا، فَقَالَ لَهُ: إِنْ كُنْتَ كَاذِبًا فَصَيَّرَكَ اللهُ إِلَى مَا كُنْتَ. قَالَ: وَأَتَى الأَعْمَى فِي صُورَتِهِ وَهَيْئَتِهِ، فَقَالَ: رَجُلٌ مِسْكِينٌ، وَابْنُ سَبِيلٍ، قَدِ انْقَطَعَتْ بِيَ الْحِبَالُ فِي سَفَرِي؛ فَلَا بَلَاغَ لِيَ اليَوْمَ إِلَّا بِاللهِ ثُمَّ بِكَ، أَسْأَلُكَ بِالَّذِي رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ شَاةً أتَبلَّغُ بِهَا فِي سَفَرِي، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أَعْمَى فَرَدَّ اللهُ إلَيَّ بَصَرِي؛ فَخُذْ مَا شِئْتَ، وَدَعْ مَا شِئْتَ؛ فَوَاللهِ لَا أَجْهَدُكَ اليَوْمَ بِشَيءٍ أَخَذْتَهُ للهِ.

فَقَالَ: أَمْسِكْ مَالَكَ، فَإِنَّمَا ابْتُلِيْتُمْ فَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنْكَ، وَسَخِطَ عَلى صَاحِبَيْكَ»، أَخْرَجَاهُ.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhi Allahu’anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi Wasallam bersabda : “Sesungguhnya ada tiga orang dari bani Israil, yaitu : penderita penyakit kusta, orang berkepala botak, dan orang buta. Kemudian Allah subhanahu wata’ala ingin menguji mereka bertiga, maka diutuslah kepada mereka seorang malaikat.

Maka datanglah malaikat itu kepada orang pertama yang menderita penyakit kusta dan bertanya kepadanya : “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan ?”, ia menjawab : “Rupa yang bagus, kulit yang indah, dan penyakit yang menjijikkan banyak orang ini hilang dari diriku”. Maka diusaplah orang tersebut, dan hilanglah penyakit itu, serta diberilah ia rupa yang bagus, kulit yang indah, kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya : “Lalu kekayaan apa yang paling kamu senangi ?”, ia menjawab : “onta atau sapi”, maka diberilah ia seekor onta yang sedang bunting, dan iapun didoakan : “Semoga Allah memberikan berkahNya kepadamu dengan onta ini.”

Kemudian Malaikat tadi mendatangi orang yang kepalanya botak, dan bertanya kepadanya :“Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan ?”, ia menjawab :“Rambut yang indah, dan apa yang menjijikan dikepalaku ini hilang”, maka diusaplah kepalanya, dan seketika itu hilanglah penyakitnya, serta diberilah ia rambut yang indah. Kemudian malaikat tadi bertanya lagi kepadanya : “Harta apakah yang kamu senangi ?”. ia menjawab : “sapi atau onta”, maka diberilah ia seekor sapi yang sedang bunting, seraya didoakan : “Semoga Allah

memberkahimu dengan sapi ini.”

Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang buta, dan bertanya kepadanya : “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”, ia menjawab : “Semoga Allah berkenaan mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang”, maka diusaplah wajahnya, dan seketika itu dikembalikan oleh Allah penglihatannya. Kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya : “Harta apakah yang paling kamu senangi ?”, ia menjawab : “kambing”, maka diberilah ia seekor kambing yang sedang bunting.

Lalu berkembangbiaklah onta, sapi dan kambing tersebut, sehingga yang pertama memiliki satu lembah onta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.

Beliau (Rasulullah) berkata:  Kemudian datanglah malaikat itu kepada orang  yang sebelumnya menderita penyakit kusta, dengan menyerupai dirinya di saat ia masih dalam keadaan berpenyakit kusta, dan berkata kepadanya : “Aku seorang yang miskin, telah terputus segala jalan bagiku untuk dapat menyambung perjalananku ini, maka pada hari ini saya tidak akan dapat meneruskan perjalananku kecuali dengan pertolongan Allah kemudian dengan pertolongan anda. Karena itu, saya meminta kepadamu dengan zat yang telah memberimu rupa yang tampan, kulit yang indah, dan kekayaan yang banyak ini, aku minta kepadamu satu ekor onta agar saya dapat meneruskan perjalananku”. tetapi permintaan ini ditolak dan dijawab : “Hak-hak (tanggunganku) masih banyak”, kemudian malaikat tadi berkata kepadanya : “Sepertinya aku pernah mengenal anda, bukankah anda dahulu adalah orang yang menderita penyakit kusta, yang mana orang-orang sangat jijik melihat anda, juga sebagai orang miskin, yang kemudian Allah memberikan kepada anda harta kekayaan ?”, dia malah menjawab : “Harta kekayaan ini warisan dari nenek moyangku yang mulia lagi terhormat”, maka malaikat tadi berkata kepadanya :“jika anda berkata dusta niscaya Allah akan mengembalikan anda kepada keadaan anda semula”.

Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya berkepala botak, dengan menyerupai dirinya di saat masih botak, dan berkata kepadanya sebagaimana ia berkata kepada orang yang pernah menderita penyakita kusta, serta ditolaknya pula permintaanya sebagaimana ia ditolak oleh orang yang pertama. Maka malaikat itu berkata : “jika anda berkata bohong niscaya Allah akan mengembalikan anda seperti keadaan semula”.

Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya buta, dengan menyerupai keadaannya dulu di saat ia masih buta, dan berkata kepadanya : “Aku adalah orang yang miskin, yang kehabisan bekal dalam perjalanan, dan telah terputus segala jalan bagiku  dalam perjalananku ini, karena itu saya tidak dapat meneruskan perjalananku hari ini, kecuali dengan pertolongan Allah kemudian pertolongan anda. Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatan anda, aku minta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku”. Maka orang itu menjawab :“Sungguh aku dulunya seorang yang buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah apa yang anda sukai, dan tinggalkan apa yang tidak anda sukai. Demi Allah, saya tidak akan mempersulit anda dengan mengembalikan sesuatu yang telah anda ambil karena Allah”. Maka malaikat tadi berkata : “Peganglah harta kekayaan anda, karena sesungguhnya engkau ini hanya diuji oleh Allah, Allah telah ridho kepada anda, dan murka kepada kedua teman anda” (HR. Bukhori dan Muslim).

● Pada hadits di atas banyak sekali ibrah dan pelajaran yang dapat kita petik, di antaranya adalah:

1. Kisah-kisah yang didatangkan dalam Alqur’an dan sunah tujuannya adalah untuk mengambil ibrah dan pelajaran.

2. Penjelasan tentang kemampuan Allah yang dapat menyembuhkan penyakit kusta, kebotakan dan kebutaan hanya dengan malaikat mengusap mereka.

3. Bahwa malaikat dapat merubah bentuk menjadi manusia, akan tetapi ini sesuai dengan izin Allah ta’ala.

4. Bahwa malaikat memiliki jasad bukan roh atau makna-makna atau kekuatan semata.

5. Antusiasme para periwayat hadits untuk menukilkan hadits sesuai dengan lafadznya.

6. Bahwa manusia tidak diharuskan ridha dengan apa yang telah ditetapkan Allah. Namun wajib bagi dia untuk ridha dengan takdir yang itu merupakan perbuatan Allah. Di sana ada perbedaan antara perbuatan Allah dan yang telah ditetapkan Allah. Yang ditetapkan Allah dapat dibagi menjadi [1] ada yang berupa musibah yang tidak wajib untuk ridha kepadanya, [2] Dan pada hukum-hukum syar’i yang wajib untuk ridha kepadanya.

7. Bolehnya berdoa dengan doa yang menggantung.

8. Bolehnya mengalah kepada lawan terhadap perkara yang tidak diakui oleh orang yang mengalah demi mendiamkan lawan.

9. Bahwa berkah dari Allah tidak ada habisnya, karena itu dalam hadits ada yang disebutkan memiliki onta sampai satu lembah.

10. Penjelasan bahwa syukur terhadap nikmat sesuai dengan jenisnya.

11. Bolehnya seseorang untuk menyerupai seseorang pada kondisi tertentu yang bukan hakekat dirinya.

12. Bahwa ujian kadang bersifat umum dan zahir, dimana kisah mereka telah populer.

13. Keutamaan waro’ dan zuhud, yang ini akan mengantarkan pelakunya kepada akhir yang terpuji, seperti orang buta yang disebutkan dalam hadits.

14. Tetapnya hukum waris pada umat-umat terdahulu.

15. Bahwa di antara sifat Allah ialah ridha, marah dan berkehendak. Kita menetapkannya kepada Allah sesuai dengan kebesaran-Nya.

16. Dalam bahasa Arab kata suhbah (pertemanan) kadang bisa diungkapkan atas musyakalah (penyerupaan bentuk) pada sesuatu dan tidak harus bersama terus.

17. Ujian Allah kepada manusia sesuai dengan nikmat yang Allah berikan kepada mereka.

18. Bahwa pemberian peringatan dapat dilakukan dengan ucapan, perbuatan dan gerakan tubuh.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Penjelasan ayat : {Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: “Ini adalah hakku…} (QS. Fushilat : 50).

2. Penjelasan makna ayat لَيَقُولَنَّ هَذَا لِي. (Saya sangat berhak dan layak mendapatkannya).

3. Penjelasan firman Allah ta’ala {Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”}. (QS. Al-Qashash : 78).

4. Bahwa pada kisah yang menakjubkan ini banyak sekali ibrah yang agung di dalamnya. (Di antaranya adalah perbedaan sifat orang yang terkena penyakit kusta, orang yang botak dan orang buta pada hadits tersebut. Bahwa orang yang terkena penyakit kusta dan orang yang botak rambutnya menginkari nikmat Allah setelah nikmat tersebut ada pada mereka dan sebelum mendapatkan nikmat mereka berdua tidak bergantung kepada Allah. Adapun yang buta, ia mengakui setelah adanya nikmat kepadanya, bahwa itu datang dari Allah dan sebelum mendapatkan nikmat hatinya bergantung kepada Allah.

Imam ibul Qayyim berkata: Hendaklah senantiasa mawas diri dan berhati-hati dari melampaui batas menggunakan kata “saya, milik saya, dan kepunyaanku”, karena kata-kata ini telah menimpakan bala kepada iblis, Fir’aun dan Qarun. Iblis berkata ketika disuruh sujud kepada nabi Adam “saya lebih baik darinya”, Fir’aun berkata : “saya adalah pemilik Mesir” dan Qarun berkata : Tidaklah itu diberikan kepadaku melainkan karena ilmu yang saya punya”. Yang paling bagus penempatan kata “saya” adalah pada perkataan seorang hamba yang berdosa, yang salah, yang meminta ampun, yang mengakui kesalahannya dan yang semisalnya. Pada kata “milik saya”, saya memiliki dosa, saya memiliki kesalahan, saya pemilik kelemahan, saya orang yang memiliki kefakiran dan kehinaan. Pada kata “kepunyaanku” dalam ucapan doa “ ya Allah Ampunilah dosa yang telah kulakukan karena kesungguhanku,  karena gurauanku, karena kekeliruanku dan karena kesengajaanku, semuanya itu dariku.

[50] Bab firman Allah:

فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحاً جَعَلاَ لَهُ شُرَكَاء فِيمَا آتَاهُمَ

Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. (QS. Al-A’raaf : 190).

nama yang menunjukan penghambaan kepada selain Allah, begitu pun beliau tidak pernah mengizinkan para sahabatnya dan menetapkan itu.

4. Nama tersebut adalah nama di mana nabi kita dikenal dengannya, seandainya kalau beliau mengatakan “Ibn Abdullah” maka manusia tidak akan mengenalnya.

5. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berbicara tetang sesuatu yang telah terjadi dan itu telah berakhir dan berlalu, di mana Abdul Mutthalib telah meninggal.

6. Abdul Mutthalib bukanlah nama akan tetapi itu adalah laqob (julukan), sebab namanya adalah Syaibatul Hamdi dan bapaknya adalah Haasyim. Sang bapak ini mengutus beliau semasa beliau masih kecil ke Madinah untuk hidup bersama paman-pamannya dari bani An-Najjar untuk belajar dan tumbuh berkembang di sana. Ketika pamannya Al-Mutthalib datang ke Madinah beliau kemudian membawa Syaibatul Hamd ikut bersamnya ke Mekah. Ketika mereka sampai di Mekah warna kulit syaibatul Hamd berubah disebabkan perjalanan yang sangat jauh. Lalu manusia yang melihatnya bertanya: Budaknya siapa ini? Mereka menjawab Abdul Mutthalib (hambanya Mutthalib). Penyebutan hamba karena perbudakan, hal semacam ini tidak ada masalah di dalamnya. Mulai pada saat itu Syaibatul hamd dijuluki dengan nama Abdul Mutthalib. Dengan kisah ini maka hilanglah semua kejanggalan dan permasalahan.

Dalil Ketiga

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي الآيَةِ قَالَ: «لَـمَّا تَغَشَّاهَا آدَمُ حَمَلَتْ، فَأَتَاهُمَا إِبْلِيسُ، فَقَالَ: إِنِّي صَاحِبُكُمَا الَّذِي أَخْرَجْتُكُمَا مِنَ الْـجَنَّةِ؛ لَتُطِيعُنِّي أَوْ لَأَجْعَلَنَّ لَهُ قَرْنَيْ أَيِّلٍ، فَيَخْرُجَ مِنْ بَطْنِكِ فَيَشُقَّهُ، وَلَأَفْعَلَنَّ وَلَأَفْعَلَنَّ؛ يُخَوِّفُهُمَا، سَمِّيَاهُ عَبْدَ الْـحَارِثِ، فَأَبَيَا أَنْ يُطِيعَاهُ، فَخَرَجَ مَيِّتًا، ثُمَّ حَمَلَتْ فَأَتَاهُمَا، فَقَالَ مِثْلَ قَوْلِهِ؛ فَأَبَيَا أَنْ يُطِيعَاهُ، فَخَرَجَ مَيِّتًا، ثُمَّ حَمَلَتْ فَأَتَاهُمَا فَذَكَرَ لَهُمَا، فَأَدْرَكَهُمَا حُبُّ الْوَلَدِ، فَسَمَّيَاهُ عَبْدَ الْـحَارِثِ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿ جَعَلاَ لَهُ شُرَكَاء فِيمَا آتَاهُمَ ﴾، رَوَاهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ.

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan : “Setelah Adam menggauli istrinya Hawwa, ia pun hamil, lalu iblis mendatangi mereka berdua seraya berkata : “Sungguh, aku adalah kawan kalian berdua yang telah mengeluarkan kalian dari surga. Demi Allah, hendaknya kalian mentaati aku, jika tidak maka akan aku jadikan anakmu bertanduk dua seperti rusa, sehingga akan keluar dari perut istrimu dengan merobeknya, demi Allah, itu pasti akan aku lakukan”, itu yang dikatakan iblis dalam menakut-nakuti mereka berdua, selanjutnya iblis berkata : “Namailah anakmu dengan Abdul harits. Tapi keduanya menolak untuk mentaatinya, dan ketika bayi itu lahir, ia lahir dalam keadaan mati. kemudian Hawwa hamil lagi, dan datanglah iblis itu dengan mengingatkan apa yang pernah dikatakan sebelumnya. Karena Adam dan Hawwa cenderung lebih mencintai keselamatan anaknya, maka ia memberi nama anaknya dengan “ Abdul Harits”, dan itulah penafsiran firman Allah:

maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. (QS. Al-A’raaf : 190). (HR. Ibnu Abi Haatim)

وَلَهُ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: «شُرَكَاءَ فِي طَاعَتِهِ، وَلَمْ يَكُنْ فِي عِبَادَتِهِ».

وَلَهُ بَسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: ﴿ لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحاً ﴾قَالَ: «أَشْفَقَا أَنْ لَا يَكُونَ إِنْسَانًا»، وَذَكَرَ

مَعْنَاهُ عَنِ الْـحَسَنِ، وَسَعِيدٍ، وَغَيْرِهِمَا.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan pula, dengan sanad yang shaheh, bahwa Qotadah dalam menafsirkan ayat ini mengatakan : “Yaitu, menyekutukan Allah dengan taat kepada iblis, bukan dalam beribadah kepadanya.

Dan dari Abu Haatim pula, dari Mujahid ketika menafsirkan firman Allah yang : {Jika engkau mengaruniakan anak laki-laki yang sempurna (wujudnya)}”,  ia berkata : “Adam dan Hawwa khawatir kalau anaknya lahir tidak dalam wujud manusia”, dan penafsiran yang senada ini diriwayatkannya pula dari Al Hasan (Al Basri), Said (Ibnu Jubair) dan yang lainnya.

● قَرْنَيْ أَيِّلٍ : Laki-laki yang bertanduk.

● Abdul Haarits : Iblis memilih nama ini, sebab Haarits tersebut adalah namanya, jadi ia ingin menjadikan keduanya menyembah kepadanya.

● Kisah ini adalah kisah yang tidak benar ditinjau dari beberapa sisi:

1. Tidak ada kabar yang shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Hazm berkata: “ini adalah kisah dusta yang dibuat-buat.

2. Sangat tidak mungkin Allah menyebutkan kesalahan mereka berdua lalu Allah tidak menyebutkan taubat mereka berdua.

3. Para Nabi mereka adalah orang-orang yang ma’shum (terjaga) dari kesyirikan dengan kesepakatan para ulama.

4. Pada hari kiamat manusia datang kepada nabi Adam supaya memohon kepada Allah agar hisab segera di lakukan, akan tetapi Adam mengemukakan uzurnya (ketidak sanggupannya) kepada mereka disebabkan ia telah memakan buah pohon larangan, dan itu adalah maksiat. Seandainya beliau pernah berbuat syirik maka uzur yang beliau sampaikan dengannya lebih kuat dan lebih layak.

5. Setan berkata kepada keduanya “saya sahabat kalian berdua” ini tidak akan dikatakan seseorang yang hendak menyesatkan.

6. Tidak mungkin mereka berdua akan percaya bahwa setan akan menjadikan anak tersebut memiliki qarnai ayyil (dua tanduk) , sebab ini termasuk syirik dalam rububiyah.

7. Di dalam ayat disebutkan “mereka berbuat syirik”, dengan dhamir (kata ganti jamak) seandainya yang dimaksud di situ adalah Adam dan Hawa maka akan menggunakan kata ganti ganda (mereka berdua menyekutukan Allah).

8. Atas dasar ini, maka tafsir ayat di atas kembali kepada keturunan Adam yang melakukan kesyirikan secara nyata. Di mana di antara keturunan Adam ada orang-orang musyrik dan ada orang-orang yang mentauhidkan Allah.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Dilarang memberi nama yang diperhambakan kepada selain Allah. (Sampai pun bernama dengan Abdul Mutthalib).

2. Tafsir ayat : Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. (QS. Al-A’raaf : 190).

3. Bahwa kesyirikan yang disebutkan dalam ayat hanya sekedar penamaan saja, tanpa bermaksud yang sebenarnya. (Yang benar bahwa syirik tersebut benar adanya, bahwa kesyirikan tersebut dilakukan keturunan Adam, tetapi bukan Nabi Adam dan Hawa).

4. Pemberian anak perempuan dengan wujud yang sempurna merupakan nikmat Allah [yang wajib disyukuri]. (Sebab sebagian orang berpandangan bahwa pemberian anak perempuan dari Allah adalah musibah, demikian pula pemberian anak laki-laki yang sempurna, juga merupakan nikmat).

5. Ulama Salaf menyebutkan perbedaan antara kemusyrikan di dalam taat dan kemusyrikan di dalam beribadah. (Bahwa nabi Adam dan Hawa mentaati setan namun mereka berdua tidak menyembahnya, ini atas dasar kalau kisah yang disebutkan dalam hadits tersebut benar).

[51] Bab Firman Allah:

وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَآئِهِ

(Hanya milik Allah lah Al Asma’ Al Husna (Nama-nama yang baik maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya itu,…) (QS. Al A’raf, 180).

ذَكَرَ ابنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ﴿ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَآئِهِ ﴾: «يُشْرِكُونَ»، وَعَنْهُ: «سَمَّوُا اللَّاتَ مِنَ الإِلَهِ، وَالْعُزَّى مِنَ الْعَزِيزِ»، وَعَنِ الأَعْمَشِ: «يُدْخِلُونَ فِيهَا مَا لَيْسَ مِنْهَا».

 Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari  Ibnu Abbas tentang maksud firman Allah yang artinya : “mereka menyelewengkan Asma-Nya”, ia mengatakan, bahwa maksudnya adalah : “berbuat syirik (dalam nama-nama-Nya). Dan darinya pula Ibnu Abi Haatim) : bahwa pemberian  nama patung mereka dengan  Al-Lata diambil dari kata Al-Ilah, dan Al-Uzza diambil dari kata Al Aziz”. Dan dari Al-A’masy, ia mengatakan: “mereka memasukan di dalam nama-nama Allah yang bukan termasuk darinya”.

● Pada bab ini merupakan bantahan atas mereka yang mengatakan: Kitab Tauhid yang kita bahas ini tidak memuat melainkan hanya tauhid uluhiyah.

● {وَلِلّهِ } : Metode penetapan ini dengan mendahulukan khabar dari pada mubtada. Dan mendahulukan khabar yang seharusnyadi akahirkan memberikan faedah pembatasan.

● { الْحُسْنَى} : Yang mencapai puncak kebagusan lagi paling sempurna dari segala sisi, yang di dalamnya tidak ada kekurangan.

● { Berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu} : Berdoa kepada Allah ta’ala dengan menggunakan nama-namanya mengandung dua makna:

Scroll to Top