Pertama : Mukadimah Kitab Tauhid (5 Bab)

 ● (Dan jauhilah thoghut): yaitu menjauhlah darinya, dimana kamu berada disatu kutub dan ia di kutub yang lain.

● Pengertian thagut yang paling lengkap adalah apa-apa yang dilewati batasannya oleh seorang hamba dari yang diikuti, diibadahi dan yang ditaati (Ibnul Qayyim rahimahullah). Dan maksud beliau adalah barang siapa yang ridha dengan hal itu.

[1] Yang ditaati: Seperti dukun, tukang sihir dan ulama-ulama yang buruk.

[2] Yang diibadahi: Seperti berhala-berhala.

[3] Yang ditati: Seperti pemimpin yang keluar dari ketaatan kepada Allah.

● Kepenunjukan ayat terhadap tauhid bahwa berhala-berhala merupakan thaghut yang diibadahi dari selain Allah.

● Tauhid tidak akan sempurna melainkan memenuhi dua rukun yaitu an-nafi (meniadakan) dan al-itsbat (menetapkan): Kalau peniadaan semata maka itu menunjukan ketidakadaan semata. Dan kalau penetapan saja maka itu tidak meniadakan persekutuan. Misalnya: “Zaid sedang berdiri” ini menunjukan penetapan berdiri kepada Zaid, akan tetapi tidak menunjukan yang berdiri hanya sendiriya. “Tidak ada seorang pun yang berdiri” ini juga menunjukan ketidakadaan semata. “Tidak ada yang berdiri kecuali Zaid” ini menunjukan penetapan kesendirian Zaid dalam berdiri, karena terdiri dari  penetapan dan peniadaan.

● Hikmah diutusnya para Rasul:

[1] Menegakan hujjah. Allah berfirman:
رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
(“Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus (QS. An-Niisa: 165).
[2] Sebagai pembawa rahmat. Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107).
[3] Menjelaskan jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah ta’ala.

Dalil Ketiga:

Allah berfirman:

(وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيما)ً

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isroo: 23).

● (Supaya kamu jangan menyembah selain Dia) : inilah tauhid karena di dalamnya mencakup penetapan dan peniadaan.

Bagaimana Allah menetapkan sesuatu yang tidak dicintainya?

            Yang dicintai untuk selainnya kadangkala tidak disukai pada zatnya. Akan tetapi disukai karena di dalamnya terdapat hikmah dan maslahat. Sehingga perkaranya dicintai pada satu sisi dan tidak dicintai pada sisi yang lain. Misalnya, kerusakan dimuka bumi yang diperbuat oleh Bani Israil pada sisi zatnya tidak disukai oleh Allah ta’ala; karena Allah tidak menyukai kerusakan dan orang-orang yang membuat kerusakan. Akan tetapi hikmah yang dikandungnya menjadikannya dicintai oleh Allah. Hal yang serupa seperti kelaparan, kemarau yang panjang, sakit dan kefakiran.

● شَيْئاً (sesuatupun): nakiroh (kata tidak tentu) dalam konteks larangan, yang mencakup segala sesuatu, tidak nabi, malaikat, wali, bahkan tidak dari perkara-perkara dunia; karenanya jangan jadikan dunia sebagai sekutu bagi Allah ta’ala.        

Dalil Kelima

Allah berfirman:

(قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً) الآيَةَ.

Katakanlah (Muhammad): “Marilah Aku bacakan apa yang diharamkan  Tuhan kepadamu. Jangan menyekutukan-Nya dengan apa pun…” (QS. Al-An’am : 151).

Dalil Keenam

قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ ﭬ  : «مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى وَصِيَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ الَّتِي عَلَيْهَا خَاتَـِمُهُ؛ فَلْيَقْرَأْ قَوْلَهُ تَعَالَى (قُلْ  تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً) إِلَى قَوْلِهِ: (وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ…)

Ibnu Mas’ud radhi Allahu anhu berkata: “Barang siapa yang ingin melihat wasiat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam yang tertera di atasnya cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah: Katakanlah (Muhammad): “Marilah Aku bacakan apa yang diharamkan  Tuhan kepadamu. Jangan menyekutukan-Nya dengan apa pun…”  Sampai pada firman-Nya: Dan “Sungguh inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah!

Penyandaran  الصراط (jalan):

1. Kepada Allah; karena itulah yang mengantarkan kepada Allah dan karena Dia yang meletakannya untuk para hamba-Nya. (Dan “Sungguh inilah jalan-Ku).

2. Kepada yang menapakinya: karena merekalah yang menapakinya. Jalan yang menyelamatkan hanya satu, tidak berbilang, adapun yang lainnya itulah jalan-jalan yang menceraiberaikan. (Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka) (QS; Al-Faatihah : 7).

10. Ayat ketiga (1 wasiat) (inilah jalanku yang lurus). Disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah pernah menggaris satu garis lurus, lalu berkata: “inilan jalan Allah”. Kemudian menggaris garis-garis disamping kanan dan kiri, lalu berkata: “Inilah jalan-jalan yang pada setiap jalan ada setan yang menyeru kepadanya. Lalu beliau membaca ayat di atas.

Dalil Ketujuh

وَعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ ﭬ قَالَ: كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ ﷺ عَلَى حِمَـارٍ، فَقَـالَ لِي: «يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟»، قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ: أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ: أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا»، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ؛ أَفَلَا أُبَشِّـرُ النَّاسَ؟ قَالَ: «لا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا». أَخْرَجَاهُ [فِي «الصَّحِيحَينِ».].

Dari Muadz bin Jabal radhi Allahu ‘anh, dia berkata: “Aku pernah dibonceng Nabi shallallahu’alaihi wasallam di atas keledai, kemudian beliau berkata kepadaku : “wahai Muadz, apakah kamu tahu hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya, dan apa hak para hamba atas Allah?, Aku menjawab : “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”, kemudian beliau bersabda : “Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, lalu aku bertanya : wahai Rasulullah, bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?, beliau menjawab : “Jangan engkau lakukan itu, karena khawatir mereka nanti bersikap pasrah” (HR. Bukhari, Muslim).

● (Apakah kamu tahu): Pertanyaan untuk membuat penasaran dan agar hati betul-betul hadir. Ini merupakan sebaik-baik bentuk pengajaran.

● (Hak para hamba atas Allah): Para hamba tidak sedikit pun dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah ta’ala. Akan tetapi Allah yang mewajibkan diri-Nya sendiri sebagai kebaikan dari-Nya semata.

لا تُبَشِّرْهُمْ) (: Jangan kamu kabarkan kepada mereka.

● Dalam hadits terdapat keutamaan tuahid, bahwa dia dapat mencegah dari azab Allah.

● Di dalamnya menjelaskan bahwa Allah tidak akan mengazab orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan bahwasanya maksiat-maksiat akan terampuni dengan merealisasikan tauhid. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang Muadz untuk mengabarkannya kepada orang-orang agar mereka tidak bergantung atas kabar gembira tersebut sementara mereka tidak merealisasikan kandungannya; karena sesungguhnya merealisasikan tauhid mengharuskan untuk menjauhi maksiat-maksiat. Sebab maksiat-maksiat itu muncul dari hawa nafsuh dan ini merupakan bagian dari kesyirikan.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

(Perkara-perkara ini bukan termasuk Kitab Tauhid, tetapi beliau meletakannya bagaikan penjelasan dari Kitab Tauhid, dan tentunya beliau sendirilah yang paling afdhal dalam menjelaskannya, sebab beliaulah yang paling mengetahui maksudnya. Maka perlu bagi kita untuk memperhatikannya).

1. Hikmah diciptakannya jin dan manusia oleh Allah Ta’ala. (Yaitu untuk tauhid bukan untuk bersenang-senang dengan makanan dan pernikahan).

2. Ibadah hakekatnya adalah tauhid, sebab pertentangan terjadi dalam masalah tauhid ini. (Yaitu antara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan kaumnya. Setiap ibadah yang tidak dibangun di atas tauhid maka itu batil).

3. Barang siapa yang tidak mendatangkan tauhid, maka dia dikatatakan belum menyembah

kepada Allah. Inilah makna firman Allah:

وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ

 Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

4. Hikmah diutusnya para Rasul (beribadah kepada Allah semata dan menjauhi peribadatan kepada thaghut).

5. Risalah kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam mencakup seluruh umat.

6. Agama para Nabi adalah satu. (Akar agama adalah satu, adapun syariat amaliyah (amalan-amalan) maka itu berbeda-beda sesuai perbedaan umat, waktu dan tempat).

7. Masalah yang sangat besar adalah bahwa ibadah kepada Allah ta’ala tidak akan terealisasi kecuali dengan adanya pengingkaran terhadap thoghut. Dan inilah maksud dari firman Allah ta’ala:“Barang siapa yang mengingkari thoghut (QS. Al Baqarah, 256). (Penulis mengatakan permasalahan besar; karena kebanyakan manusia jahil terhadapnya. Tidak boleh mengarahkan kesyirikan, kekufuran dan laknat kepada seseorang yang melakukan amalan-amalan tersebut karena menghukumi dengan itu, pada perkara ini ataupun perkara yang lainnya ada sebab-sebabnya dan juga penghalang-penghalangnya).

8. Bahwa thaghut itu mencakup pada setiap yang diibadahi dari selain Allah.

9. Agungnya kedudukan tiga ayat-ayat muhkam pada surat Al-An’am di sisi para salaf. Dimana di dalamnya memuat sepuluh perkara, yang diawali dengan larangan berbuat syirik.

10. Ayat-ayat muhkamat yang terdapat dalam surat Al Isra’ mengandung 18 masalah, dimulai dengan firman Allah :

لاَّ تَجْعَل مَعَ اللّهِ إِلَـهاً آخَرَ فَتَقْعُدَ مَذْمُوماً مَّخْذُولاً

“Janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, agar kamu tidak menjadi terhina lagi tercela” (QS. Al Israa: 22).

Dan diakhiri dengan firmanNya :

وَلاَ تَجْعَلْ مَعَ اللّهِ إِلَهاً آخَرَ فَتُلْقَى فِي جَهَنَّمَ مَلُوماً مَّدْحُوراً

“Dan janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, sehingga kamu (nantinya) dicampakkan kedalam neraka jahannam dalam keadaan tercela, dijauhkan (dari rahmat Allah)” (QS. Al Israa: 39).

Dan Allah mengingatkan kita pula tentang pentingnya masalah ini, dengan firmanNya:

ذَلِكَ مِمَّا أَوْحَى إِلَيْكَ رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ

“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu” (QS. Al Isroo: 39).

11. Satu ayat yang terdapat dalam surat An-Niisa yang dinamakan dengan ayat hak-hak sepuluh, Allah memulainya dengan firmanNya:

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً

 Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (QS. An-Niisa : 36).

 (Maka kewajiban yang paling wajib ditunaikan adalah hak-hak Allah ta’ala).

12. Keharusan mengingat wasiat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam di saat akhir hayat beliau. (Hakekat sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mewasiatkan itu, namun beliau mengisyaratkan kepada kita bahwa barang siapa yang berpegang teguh dengan Alqur’an, maka ia tidak akan sesat selamanya).

13. Mengetahui hak-hak Allah yang wajib kita laksanakan. (Hanya menyembah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun).

14. Mengetahui hak-hak hamba yang pasti akan dipenuhi oleh Allah apabila mereka melaksanakannya. (Hak yang merupakan kebaikan Alah semata).

15. Masalah ini tidak diketahui oleh sebagian besar para sahabat. (Karena Mu’adz mengabarkan hadits ini sebagai pembebasan diri dari dosa menyembunyikan ilmu di akhir hayatnya setelah kebanyakan para sahabat meninggal. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk mengabarkannya karena kekhawatiran beliau jangan sampai mereka bergantung dengan kabar gembira ini. Akan tetapi, beliau tidak menghendaki untuk disembunyikan secara mutlak. Karena kalau beliau menghendaki itu, maka beliau tidak akan mengabarkannya kepada Muadz ataupun yang lain.

16. Bolehnya merahasiakan ilmu pengetahuan untuk maslahat. (Ini bukan secara mutlak).

17. Dianjurkan untuk menyampaikan berita yang menggembirakan kepada sesama muslim. (Ini faedah yang sangat baik).

18. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam merasa khawatir terhadap sikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah. (Demikian pula berputus asa dari rahmat-Nya).

19. Jawaban orang yang ditanya, ketika dia tidak mengetahui adalah : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. (Ini diucapkan ketika Nabi masih hidup dan terhadap perkara syariat yang diketahui oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam).

20. Diperbolehkan memberikan ilmu kepada orang tertentu saja, tanpa yang lain.

21. Kerendahan hati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yang mau naik keledai serta membonceng salah seorang dari sahabatnya.

22. Bolehnya membonceng seseorang diatas binatang tunggangan. (Dengan syarat tidak memberatkan tunggangan).

23. Agungnya kedudukan masalah ini.

24. Keutamaan Muadz bin Jabal.

[2] Bab Keutamaan Tauhid dan Dosa-Dosa yang Diampuni Karenanya

Penulis mendatangkan bab ini untuk membuat hati rindu kepada tauhid, tidak seperti yang dihembuskan oleh setan dalam jiwa manusia. Kemudian tidak mengharuskan tetapnya keutamaan pada sesuatu lalu menjadikan sesuatu ini tidak wajib. Akan tetapi keutamaan itu merupakan hasil dan pengaruhnya. Seperti penyebutan keutamaan shalat berjamaah, bukan berarti shalat berjamaah tidak wajib.

Dalil Pertama

الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An’am: 82).

● { وَلَمْ يَلْبِسُواْ }: Tidak mencampur adukkan. {بِظُلْمٍ} (dengan kezaliman), zalim disini adalah lawan daripada iman yaitu kesyirikan.

● Mereka mendapatkan petunjuk{ مُّهْتَدُونَ }: [1] Di dunia, kepada syariat Allah dengan ilmu dan amal. [2] Di akhirat, kepada surga.

● Diantara keutamaan tauhid adalah terealisasinya keamanan di dunia dan di akhirat.

Dalil Kedua

وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ، وَرُوحٌ مِنْهُ، وَالْـجَنَّةَ حَقٌّ، وَالنَّارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللهُ الْـجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ»، أَخْرَجَاهُ.

Dari Ubadah bin Shomit Radhiallahu’anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa yang bersaksibahwa tidak ada sesembahan yang hak (benar) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, serta Ruh dari-Nya, dan surga itu benar adanya, neraka juga benar adanya, maka Allah pasti memasukkanya ke dalam surga, betapapun amal yang telah diperbuatnya”. (HR. Bukhori & Muslim)

Dalil Ketiga

وَلَهُمَا فِي حَدِيثِ عِتْبَانَ: «فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: (لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ)؛ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ الله».

Dan diriwayatkan pula dari keduanya (Imam Bukhori dan Muslim) dalam hadits Itban

radhiallahu’anhu, : “bahwa sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang-orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah,  yang dia hanya mengharapkan wajah Allah dengan ucapannya itu.

شَهِدَ  (Bersaksi) : الشَّهادة (persaksian): Pengakuan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan pembuktian dengan amalan badan.

● أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ : Tidak ada sesembahan yang hak (pantas) disembah kecuali Allah.

● وَحْدَهُ (Semata-mata hanya Dia) : Sebagai penguat bagi penetapan. لَا شَرِيكَ لَهُ (tiada sekutu bagi-Nya) : sebagai penguat dari penafian dalam semua yang merupakan kekhususan-Nya.

● وَأَنَّ مُحَمَّدًا (dan bahwa Muhammad) : Bin Abdullah bin Abdul Mutthalib al-Qurasyi Al-Haasyimi adalah penutup para Nabi.

● (Hamba-Nya) : Yakni [1] Bukan sekutu bagi Allah. [2] Manusia yang paling beribadah.

● (Rasul-Nya) : Yakni yang diutus dengan apa yang diwahyukan kepadanya, bukan seorang yang berdusta atas nama Allah. Perealisasian terhadap persaksian ini akan sirna dengan: [1] Mengerjakan maksiat-maksiat. [2] Membuat perkara-perkara baru (bid’ah) yang tidak beliau ajarkan.

● Maksiat dengan maknanya yang umum dapat kita anggap sebagai kesyirikan. Dan dengan maknanya yang khusus maka dapat dibagi menjadi tiga: [1] Syirik besar. [2] Syirik kecil. [3] Maksiat yang besar. [4] Maksiat yang kecil.

● (Isa adalah hamba-Nya) : Sebagai bantahan atas orang-orang Nasrani. (Rasul-Nya) : Sebagai bantahan atas orang-orang Yahudi. Kita beriman kepada kerasulannya namun tidak melazimkan kita  mengikutinya apabila syariatnya menyelisihi syariat kita. Syariat para rasul terdahulu ada tiga keadaan:

[1] Menyelisihi syariat kita, maka kita beramal dengan syariat kita.

[2] Sesuai dengan syariat kita, maka kita mengamalkan syariat kita.

[3] Syariat kita mendiamkannya, maka itu adalah syariat kita.

● Manusia terhadap nabi Isa terbagi menjadi dua kelompok yang menyimpang dan satu kelompok yang pertengahan.

[1] Yang mengabaikannya: Seperti kaum Yahudi yang mendustakannya, menfitnah dirinya dan ibunya, mengingkari kenabiannya dan menjatuhkan hukuman untuk membunuhnya.

[2] Yang berlebih-lebihan terhadapnya: Seperti Nasrani yang mengatakan bahwa dia adalah anak Tuhan, salah satu dari yang tiga (keyakinan trinitas) dan menjadikannya sebagai Tuhan.

[3] Pertengahan: Kita bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, Ibunya adalah seorang yang jujur dan seorang gadis yang menjaga kesuciannya, dia juga (Isa) permisalannya di sisi Allah seperti permisalan nabi Adam yang diciptakan dari tanah lalu dikatakan kepadanya kun fayakun (jadi maka jadilah).

● (Kalimat-Nya) : Karena dia diciptakan dengan kalimat, namun Isa bukan merupakan kalimat Allah. Adapun al-kalam (kalimat) adalah sifat dari Allah.

● (Ruh dari-Nya): Makhluk dari salah satu makhluknya, namun disandarkan kepada Allah

sebagai pengagungan dan pemuliaan.

● (Maka Allah memasukannya ke dalam surga): Dimasukan ke dalam surga ada dua macam:

1. Dimasukan secara sempurna yang tidak didahului dengan azab bagi mereka yang menyempurnakan amalan.

2. Dimasukan secara tidak sempurna yaitu didahului dengan azab bagi mereka yang kurang amalnya.

● (Mengucapkan laa ilaaha illallah) : Dengan syarat harus ikhlas. Yang menunjukan itu adalah “hanya mengharapkan (pahala melihat) wajah Allah”.

● Pada hadits ada bantahan terhadap dua kelompok:

1. Murjiah: Yang hanya mencukupkan dengan ucapan laa ilaaha illallah tanpa amal dan ikhlas.

2. Khawaarij: Yang berkata bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal di dalam neraka.

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Musa berkata: “Wahai Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk mengingat-Mu dan berdoa kepada-Mu”, Allah berfirman :”Ucapkan wahai Musa laa ilaaha illallah”, Musa berkata : “Wahai Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan itu”, Allah menjawab : “Wahai Musa, seandainya ketujuh langit serta seluruh penghuninya, selain Aku, dan ketujuh bumi diletakkan dalam satu timbangan dan kalimat laa ilaaha illallah diletakkan dalam timbangan yang lain, niscaya kalimat laa ilaaha illallah akanlebih berat timbangannya.” (HR. Ibnu Hibban, dan Imam Hakim sekaligus menshohihkannya).

Dalil Kelima

وَلِلتِّرْمِذِيِّ – وَحَسَّنَهُ – عَنْ أَنَسٍ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ  يَقُولُ: «قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقـُـرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، لأَتَيْتُكَ بِقِـُـرَابِهَا مَغْفِرَةً».

Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits (yang menurut penilaiannya hadits itu hasan) dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu ia berkata aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Allah Subhanahu wata’ala berfirman : “Hai anak Adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sejagat raya, kemudian engkau bertemu denganku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatupun, maka pasti Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sejagat raya pula”.

● لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ :Kalimat ini adalah zikir yang mengandung doa, karena orang yang berzikir dengan kalimat ini mengiginkan keridhaan Allah.

● بِقِـُـرَابِهَا مَغْفِرَةً (dengan membawa ampunan sejagat raya pula): Ini menunjukan bahwa kebaikan tauhid sangat besar sekali, yang mana kalimat ini dapat menghapus dosa-dosa besar apabila seseorang bertemu dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

● Maghfiroh (ampunan) adalah menutup dosa dan melewatinya.

Al-Masaail (Perkara-Perkara)

1. Luasnya kebaikan Allah.

2. Besarnya pahala tauhid di sisi Allah.

3. Dan tauhid juga dapat menghapus dosa.

4. Penjelasan tentang ayat yang ada dalam surat Al An’am. (Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman). (QS. Al-An’am: 82).

5.Perhatikanlah kelima masalah yang ada dalam hadits Ubadah.

6. Jika anda memadukan antara hadits Ubadah, hadits Itban dan hadits sesudahnya, maka akan jelas bagi anda pengertian kalimat  laa ilaaha illallah, juga kesalahan orang-orang yang tersesat karena hawa nafsunya. (Karena orang yang mengucapkan kalimat ini diharuskan baginya untuk mengharapkan wajah Allah. Apabila demikian maka kalimat ini harus dapat

mengantarkan seseorang untuk beramal shalih).

7. Perlu diperhatikan syarat-syarat yang disebutkan dalam hadits Itban. (Tidak cukup hanya sekedar ucapan).

8. Para Nabi pun diingatkan akan keistimewaan laa ilaaha illallah. (Terlebih lagi selain mereka).

9. Penjelasan bahwa kalimat laa ilaaha illallah lebih berat timbangannya dari timbangan seluruh makhluk. Akan tetapi tidak sedikit dari orang yang mengucapkan kalimat ini ternyata timbangannya lebih ringan. (Masalahnya kepada orang yang mengucapkannya bukan pada kalimatnya, boleh jadi karena ia tidak memenuhi persyaratannya atau disana ada penghalang-penghalang).

10.Penjelasan bahwa bumi itu tujuh lapis seperti halnya langit. (Persamaan ini pada jumlah).

11. Langit itu ada penghuninya. (Dan penghuninya adalah para malaikat).

12 Menetapkan sifat-sifat bagi Allah, berbeda dengan pendapat Asy’ariyah. (Dan Mu’athilah, yang di dalamnya ada penetapan wajah Allah).

13 Jika anda memahami hadits Anas, maka anda akan mengetahui bahwa sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalla yang ada dalam hadits Itban : “Sesungguhnya Allah mengharamkan masuk neraka bagi Mereka yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan penuh ikhlas karena Allah, dan tidak menyekutukanNya”, maksudnya adalah tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, bukan hanya mengucapkan kalimat tersebut dengan lisan saja.

14. Nabi Muhammad dan Nabi Isa adalah sama-sama hamba Allah dan Rasul-Nya.

15. Mengetahui keistimewaan Nabi Isa, sebagai Kalimat Allah. (Dicipta tanpa bapak)..

16. Mengetahui bahwa Nabi Isa ruh darinya. (Ruh diantara ruh-ruh yang diciptakan Allah).

17. Mengetahui Keutamaan beriman kepada surga dan neraka. (Bahwa itu merupakan salah satu sebab untuk masuk surga).

18. Memahami sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Betapapun amal yang telah dikerjakannya”.

19. Mengetahui bahwa timbangan itu mempunyai dua daun.

20. Mengetahui kebenaran adanya wajah bagi Allah. (Bahwa itu adalah salah satu sifat Allah).

Scroll to Top